Tirto kembali kena delik pers dan menjalani peradilan (kolonial). Vonis pengadilan (kolonial) 23 Desember 1913, T.A.S dibuang ke pulau Bacan di Halmahera Maluku. (sekarang termasuk provinsi Maluku Utara).
Kembali ke Betawi 1918 bersama isterinya Siti Fatimah atau dikenal juga dengan nama Prinses Karisuta. Isterinya itu putri Sultan Bacan Muhammad Oesman Sadik, yang dinikahinya ketika Tirto berada di pembuangan.
Sampai di Betawi, TAS mendapati segala kekayaanya telah habis. Ada yang disita negara untuk membayar denda.
Selain beberapa percetakan juga sebuah hotel bernama Medan Prijaji telah dijual.
Yang lebih menyakitkan baginya adalah teman-teman berjuang dulu, pada menghindar dan menjauh. Akibatnya TAS sakit dan depresi.
Akhirnya dia meninggal bulan Agustus 1918 dan dimakamkan di Manggadua Jakarta.
Selain jadi wartawan, TAS juga aktif dalam pergerakan kebangsaan. Dia bergabung dan memimpin Serikat Dagang Islam dan menjadi ketua cabang Bogor. Dia juga bergabung dengan Budi Oetomo dan ikut mendeklarasikan gerakan kebangkitan nasional 20 Mei 1908.
Untuk semua itu Tirto Adhy Soerjo telah dianugerahi gelar Pahlawan Nasional tahun 2006 (Kepres No.85/TK/2006).
Selain Tirto banyak pula wartawan yang mendapat gelar Pahlawan Nasional.
Mereka antara lain: Abdul Muis, Rohana Koedoes, Oto Iskandarmuda, Mohammad Hatta, Adam Malik, Tjipto Mangunkusumo, WR Soepratman, Bung Tomo, Abdurahman Baswedan (kakek Anies Rasyid Baswedan), Douwes Dekker, KH Dewantara dan lain-lain.