Oleh : Dedi Asikin (Wartawan Senior, Pengamat dan Aktivis Sosial)
KORANMANDALA.COM – Sebagai seorang wartawan yang bekerja pada masa pasca kemerdekaan, saya dan tentu yang lain menyadari benar resiko yang dihadapi. Wartawan itu tak sekadar mencari sesuap nasi, tapi juga harus berbuat untuk negeri. Ketika bumi dipijak ketika itu langit dijunjung.
Tapi tentu sulit membuat perbandingan berat mana resiko itu antara jadi wartawan zaman kolonial dengan masa sesudah merdeka.
Yang pasti terasa (sekarang), wartawan itu hidup diantara cinta dan benci. Berita-berita yang kurang baik (semisal berita kasus) pasti banyak audien akan marah. Kalau sekedar mbolotot atau “baeud” masih mendingan. Tapi tak kurang, sering terjadi banyak yang berang tiada kepalang.
Mereka itu, pejabat atau aparat dan korporasi atau privasi tersinggung dan pundung. Tak sedikit yang melakukan kekerasan. Bentakan, penganiayaan bahkan juga pembunuhan.
Menurut catatan sampai tahun lalu sudah ada 19 orang awak media yang “dibunuh”. Saya ulangi “dibunuh” bukan terbunuh. Yang terbunuh tentu banyak. Misalnya wartawan perang atau yang sedang meliput konflik bersenjata. Yang gitu mah gapapa, lillahita’ala.
Yang saya ingat, tahun 1960, Butar SimaNjuntak wartawan Sinar Medan ditemukan tersungkur di sebuah perkebunan karet di Pematang Siantar, dengan tubuh melepuh, diduga disiram air keras.
Kalau tidak salah pelakunya tidak terungkap. Diduga mafia judi karena pada waktu itu dia lagi getol memberitakan kasus judi di Medan.
Tahun 1996 di Yogja, Udin wartawan Berita Nasional (Bernas) ngemasi pati di Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta. Ia dianiaya seseorang ketika baru pulang kerja sekitar jam 9 malam. Kepalanya dipukul dari belakang lalu perutnya disodok besi. Dia meninggal 3 hari setelah kejadian (tanggal 13 Agustus 1996).
Sampai sekarang kasus itu tidak terungkap secara jelas. Hasil penilitian tim Kijang Putih yang dibentuk PWI Yogyakarta menyebutkan pembunuhan itu terjadi karena Udin (Mohammad Fuad Syarifudin) memberitakan penyimpangan proyek Parangtritis di Kabupaten Bantul. Polisi sempat mencurigai seorang bernama Dwi Sumaji alias Kwik.
Tapi kasus itu tidak diusut secara tuntas. Yang pasti, kematian wartawan kelahiran 1964 itu tidak terungkap sampai sekarang.