Oleh : Mahi M. Hikmat
(Koordinator Jawa Barat untuk Pemilu Bersih)
KORANMANDALA.COM – Walaupun separuh tahapan pemilihan calon Presiden & Wakil Presiden, pemilihan anggota DPR RI, anggota DPD RI, anggota DPRD Provinsi, dan anggota DPRD Kabupaten/Kota sudah terlampaui, masa kampanye pun usai, dan hari H tinggal menghitung hari, bukan berarti rakyat dapat berlega hati. Justru saatnyalah semua pihak makin carincing pageuh kancing saringset pageuh iket (waspadalah). Rabu, 14 Februari 2024 merupakan puncak pembuktian fair play bagi seluruh stakeholder dalam penyelenggaraan Pemilu, baik bagi Pemerintah, KPU, Bawaslu, Partai Politik, para calon dan tim kampanyenya, bahkan bagi seluruh rakyat.
Puncak ujian “keculasan” yang mungkin dapat dilakukan oleh siapapun rentan terjadi pada detik-detik pencoblosan di bilik suara, proses penghitungan suara, dan rekapitulasi suara. Bahkan, pada tahapan inilah MK (Mahkamah Konstitusi) memberikan akses untuk penyelesaian sengketa hasil Pemilu. Pada sisi lain sebagian rakyat, bahkan kebanyakan pendukung calon sudah menghabiskan energi pada masa kampanye; Energi terakhir mereka tumpahkan pada saat pencoblosan. Setelah itu, mereka merasa selesai karena telah memberikan suara sesuai kehendaknya.
Rentan Kecurangan
Padahal penyelenggaraan Pemilu tidak selesai sampai pencoblosan. Setelah itu, masih menganga kondisi rentan yang dapat mengundang kecurangan. Parpol, calon dan para pendukung yang melek pada pasca pencoblosanlah yang dapat menyelamatkan suara; Mereka pun dapat menggagas strategi “culas” untuk menambah atau menggelembungkan suara. Bermain mata dengan oknum KPPS, PPS, dan PPK merupakan peluang besar untuk memutarbalikkan suara.
Hal itu sangat memungkinkan terjadi tatkala banyak pihak menganggap puncak penyelenggaraan adalah pencoblosan, setelah itu selesai. Kelelahan perjalanan panjang tahap per tahap penyelenggaraan Pemilu telah menjebak mereka untuk puas sampai memberikan suara. Padahal, nyaris setiap event Pemilu, peluang kecurangan yang besar terjadi pada tahap penghitungan dan rekapitulasi suara.
Apalagi jika proses penghitungan suara terjadi menjelang senja, sering sekali TPS kondisi kosong: warga sudah pada pulang, saksi sudah mulai kelelahan, bahkan tak jarang sebagian sudah meninggalkan TPS. Yang tinggal dengan setumpuk surat suara yang masih harus dihitung, PPL dan KPPS. Kondisi seperti itulah yang rentan terjadinya kecurangan; main mata antara pendukung dengan oknum penyelenggara. Setidaknya, pada kondisi itu pula kelalaian dapat terjadi. Kelelahan penyelenggara sangat memungkinkan mereka salah dalam penempatan atau penghitungan suara.
Oleh karena itu, program penyelamatan suara pasca-pencoblosan harus menjadi visi semua stakeholder penyelenggaraan Pemilu. Menyelamatkan suara bukan hanya menjamin tidak terjadinya kecurangan atau kelalaian yang dilakukan oknum penyelenggara di lapangan atau menjamin kemurnian suara agar tidak masuk calon lain, tetapi juga menyelamatkan suara hati rakyat, sehingga calon presiden pememang, Parpol pemenang, Caleg terpilih, betul-betul kehendak suara rakyat.
Awasi Bersama
Upaya sejumlah kelompok masyarakat strategis dalam menggagas penyelamatan suara rakyat, misalnya, dalam bentuk perekaman tahap penghitungan suara atau pemotretan formulir C2 (hasil penghitungan suara) merupakan langkah yang harus dikembangkan kembali. Kendati harus didukung dengan jumlah sumber daya manusia yang representatif, teknologi yang canggih, dan sumber dana yang dapat menjangkau sebagian besar, bahkan seluruh TPS yang ada.
Namun yang lebih baik, gagasan penyelamatan suara rakyat pun menjadi bagian terpenting dari kegiatan semua pihak yang ikut serta dalam penyelenggaraan Pemilu 2024. KPU harus menjamin ujungtombak penyelenggara steril dari anasir kepentingan Parpol atau calon tertentu, termasuk menjamin kesehatan mereka, sehingga proses penghitungan suara dilakukan oleh penyelenggara lapangan yang vit; Bukan penyelenggara yang sudah kelelahan karena begadang membangun bilik suara atau menjaga kotak suara.