Oleh : Dedi Asikin (Wartawan Senior, Pengamat dan Aktivis Sosial)
KORANMANDALA.COM – Rasanya tak sejalan dengan logika. Juga jika ditambah sedikit akal sehat. People powrer atau gerakan (kekuatan) rakyat itu sudah muncul setahun yang lalu. Itu terjadi di Solo dalam acara peringatan Mega Bintang.
Di sana hadir beberapa tokoh oposan. Ada Mayjen Purn Soeharto, Egi Sudjana, tuan rumah Mudrick Sangidu dan juga tokoh reformasi Amien Rais. Sebelum itu sudah ada gerakan menyelamatkan Indonesia, KAMI (Kesatuan Aksi Membela Indonesia).
Juga beberapa BEM sudah turun ke jalan. Lalu muncul Petisi 100
Suara Mahasiswa juga mulai kencang dan lantang. Mereka kembali turun ke jalan dengan tagar “Hentikan politik dinasti dan turunkan Jokowi sekarang juga”.
Yang terkahir, angin mulai berhembus dari kampus. Memang bukan puting beliung. Tapi juga bukan cuma angin sepoi.
Terutama jika dilihat dari sumber angin yang bertiup dari berbagai penjuru. Dimulai dengan almamater (kalau benar) Jokowi sendiri, Universitas Gajah Mada. Muncul pertama (31 Januari), dengan nama Petisi “Bulaksumur”, gerakan para guru besar, dosen, mahasiswa dan alumni, serentak diikuti oleh kampus kampus lainnya. Sampai tanggal 10 Februari tercatat telah ada 139 kampus.
Nama dan konten gerakan itu variabel. Tapi intinya hampir sama, keresahan sivitas akademica menghadapi kondisi negeri ini di bawah kepemimpinan presiden Jokowi.
Ada ancaman runtuhnya demokrasi, otoritarian, ketidak adilan serta pemelintiran hukum, politik dinasti, korupsi dan kolusi.
Secara umum mereka hanya meminta presiden Jokowi kembali ke jalan dan koridor yang benar. Belakangan ternyata tak hanya kampus bergolak. Ada juga beberapa entitas sivil societi yang tertular keresahan. Mulai dari budayawan, pelaku bisnis, pemuda sampai ulama.
Tapi gejolak-gejolak itu belum mengkristal menjadi sebuah kekuatan yang dahsyat bagai air bah melindang tandas benteng kekuasaan yang dzalim.