Oleh : Dedi Asikin (Wartawan Senior, Pengamat dan Aktivis Sosial)
KORANMANDALA.COM – “Turunkan Jokowi sekarang juga”. Itu adalah potongan kalimat dalam sebuah spanduk yang digelar dalam demo mahasiswa BEM seluruh Indonesia. Demo terakhir setelah terjadi kecurangan dalam pilpres 14 Februari lalu.
Lengkapnya tulisan dalam spanduk itu “Tolak pemilu curang, hentikan politik dinasti dan turunkan Jokowi sekarang juga”.
Anak kalimat yang terakhir itu ternyata telah membuat tanda tanya masYarakat luas. Bisakah menurunkan Jokowi ?
Tiga cara yang bisa dilakukan sulit jadi kenyataan. Pertama pemakzulan. Cara ini harus melalui jalan panjang dan berliku. Harus meyakinkan 560 anggota DPR tentang hal yang sangat mendasar untuk memberhentikan seorang presiden. Salah satunya pelanggaran konstitusi atau Undang Undang.
Jika DPR sepakat, persoalan selanjutnya dibawa ke MK. Lolos dari MK, putusan baru dibawa ke MPR. Itu proses yang tak hanya panjang berliku tapi juga ribet suribet. Nyaris mustahil lewat jalan itu.
Cara kedua melalui gerakan massa atau People Power. Kita sudah punya pengalaman dengan cara itu. Tahun 1966 berhasil mendesak MPR(S) menurunkan bung Karno.
Tahun 1998 dengan mengepung gedung DPR, berhasil mendesak Presiden Suharto mundur (21 Mei 1998).
Tapi mendesak Joko Widodo terasa rada rada muskil, hampir mustahil. Situasinya agak berbeda. Waktu menurunkan bung Karno dan Suharto, kondisi ekonomi sedang sangat terpuruk. Inflasi lebih dari 600 %. Rakyat nyaris kelaparan.
Sedang menghadapi Jokowi, meski tak bagus bagus amat, keadaan ekonomi lumayan baik. Apalagi dibujuk dengan bansos dan BLT. Outputnya tingkat kepuasan publik kepada presiden Jokowi tetap tinggi (mencapai 82%). Rakyat tidak tahu bahwa uang bansos dan BLT itu uang rakyat juga. Anggaran bansos tahun ini melambung jauh dari tahun lalu yaitu Rp.496,3 trilyun.
Banyak yang menyebut itu anggaran terbesar sebagai politisasi bansos. Ada udang dibalik bansos. Tak lain dan tak bukan, untuk menjaring dukungan bagi kemenangan Prabowo-Gibran.