Dengan kendaraan berlambang bintang mercy bernama partai demokrat itu, dia ngebut lewat jalan tol.
Tahun 2019 ngutak ngutik barangkali bisa nyapres, tapi tak dapat gandengan. Terpaksalah cuma bisa mendukung Prabowo Subianto yang nyalon bersama Sandiaga Uno. Jadi menteri dulu, boleh deh. Tapi sayang jagoannya keok oleh Jokowi-Maruf Amien.
Rentang waktu antara 2019 sampai 2024 partainya sempat terguncang oleh upaya pembegalan oleh KSP Muldoko. Tapi syukur dia dapat mempertahankan partai, berada dalam hegemoninya.
Berikut, sempat mampir di koalisi perubahan, bersama Nasdem dan PKS mendukung Anies Baswedan. Tapi koalisi perubahan itu pecah dan ia terdampar ke Koalisi Indonesia Maju bersama Prabowo dan Gibran Raka Buming Raka.
Rupanya langkah terakhirnya ini membawa berkah. Kedekatan Prabowo dengan Presiden Jokowi menjadi entry point atau jembatan, dia masuk kabinet Jokowi dan menjadi menteri (ATR/Kepala BPN).
Tapi tak semua kader bersuka cita. Tak seluruhnya eforia dan berjoget gemoy. Kemarin ada seorang kader yang berteriak lantang.
“Hai pak Ketum, itukah yang kau cari ? Lelah dan berdarah-darah selama 9 tahun sebagai oposisi hanya untuk jadi menteri 8 bulan saja ? Cetek amat, teriak sang kader yang sorry sorry to saya saya tak sempat mencatat namanya.
Dalam catatan saya di republik ini, mohon dikoreksi, baru ada dua menteri yang berbasis cuma perwira menengah. Biasanya jenderal bintang empat.
Yang pertama mayor dr Abdul Gafur yang tahun 1978 diangkat menteri Pemuda dan Olahraga oleh presiden Suharto. Itu jabatan balas jasa keren Gafur dan kawan kawanya (angkatan 66), membantu Suharto menggapai mahligai kekuasaan menjadi presiden RI kedua.
Ada yang sedikit menarik dari perisitiwa dilantiknya AHY kemarin. Waktu itu banyak orang sibuk mencari tampang Muldoko ? Kemana gerangan sang KSP ? Tanda tanya itu tentu keluar dari orang yang tahu dan masih ingat kasus pembajakan partai demokrat.