Oleh : Dedi Asikin (Wartawan Senior, Pengamat dan Aktivis Sosial)
SAYA baru sadar hari ini 25 Februari adalah Hari Gizi Internasional. Yang menarik bagi saya, momen itu berkelindan dengan suasana akar rumput bangsa hari hari ini. Mereka sedang kesusahan mendapatkan beras. Bahan makanan pokok (bahkan utama) masyarakat itu sekarang sedang mahal.
Harganya terbang ke langit biru, nyaris tak terjangkau. Banyak mereka yang terpaksa berpanas terik, antri untuk dapatkan beras dengan harga Rp.10.400 yang digelar operasi pasar. Sebab di pasar bebas harga itu telah mencapai Rp 18.000.
Beras dengan gizi, tak bisa dipisahkan.
Beras itu mengandung 80 % karbohidrat. Sisanya ada pada berbagai unsur seperti protein, lemak, zat besi, asam folat (bukan Samsul, asam sulfat) dan lain-lain.
Pokonya, beras yang berasal dari padi itu memenuhi unsur gizi yang dibutuhkan manusia untuk mempertahankan daya tahan tubuh.
Beras itu sudah ratusan tahun menjadi makanan pokok sebagian besar masyarakat Indonesia.
Menurut sejarawan Heri Priyatmoko, beras itu mulai dikenal masyarakat Tiongkok di sekitar sungai Yangtze tahun 7000 sebelum masehi.
Dari China berkembang ke India dan negara-negara Asia Selatan. Tak ada catatan pasti kapan masuk ke Indonesia. Tapi lebih dikembangkan pada masa pemerintahan Orde Baru dengan program swasembada beras.
Yang pasti beras sekarang sudah menjadi makanan utama masyarakat Indonesia. Ada adagium jika belum makan nasi merasa belum makan, walau pagi hari sudah menyikat semangkuk mie rebus atau sepiring goreng singkong.
Penetapan Hari Gizi Internasional didukung oleh komitmen FAO untuk meningkatkan kesadaran masyarakat atas pentingnya gizi seimbang dalam menjaga ketahanan tubuh.