OLEH : WIDI GARIBALDI
Pesta Demokrasi baru saja berlalu. Kendatipun Jokowi baru tanggal 20 Oktober mendatang menyerahkan mandatnya sebagai Presiden, tetapi kasak kusuk di antara partai-partai pendukung Capres yang merasa dirinya
memenangi kontestasi, sudah sibuk merancang agar memperoleh bagian kueh kekuasaan yang lebih besar.
Tak sabar menanti pengumuman resmi dari KPU tanggal 20 Maret 2024, partai-partai pendukung sudah melotot matanya menatap kueh kekuasaan, dengan harapan akan memperoleh bagian yang dominan. Ada 9 partai pendukung yang merasa berjasa membuat Capres/wapres 02 dapat meraup hampir 60 % suara pemilih hingga bakal memenangi kontestasi dalam 1 putaran.
Ke-9 partai tersebut, terdiri dari Partai Golkar, Gerindra, Demokrat, PAN,PSI, PBB, Gelora, Garuda dan Partai Prima. Ditambah 1 partai lagi yang dirangkul oleh Presiden Jokowi, yakni Partai Nasdem yang sejak awal menempatkan diri berseberangan, menjadikan pembagian kueh kekuasaan itu akan semakin seru. Mengingat besaran kuehnya yang terbatas, yakni hanya 34 kementerian + 4 Menko, memaksa Partai Golkar mengingatkan rekan-rekan partainya untuk tidak memaksakan jumlah dan posisi menteri tertentu.
Partai Golkar yang merasa dirinya paling berjasa tentu saja kurang iklas menyerahkan kursi-kursi strategis kepada Nasdem, apalagi partai pendukung Paslon 01 lainnya, seperti PKB dan PKS. Memang, tinggal PDI-P yang tidak dilibatkan dalam pembagian kueh ini. Partai ini diperkirakan berketetapan hati menempati kursi oposisi, kedudukan yang sesungguhnya mulia dalam rangka membangun bangsa serta negara dalam pengertian yang
sesungguhnya.
Siapa yang akan membagi ?
Baru-baru ini, untuk kedua kalinya Prabowo, kandidat Presiden menurut quick count, menemui SBY pendiri partai Demokrat. Menurut selentingan, dalam pertemuan itu dibicarakan juga ihwal pembagian kueh kekuasaan itu.
Menyadari Jokowi punya andil yang amat besar, Prabowo mengharapkan agar pembagian kueh kekuasaan tidak sepenuhnya ditentukan oleh Presiden yang segera akan lengser itu. Soalnya, SBY yang rela turun gunung dan
berdiri di belakang Prabowo, berhasil meraup suara yang siknifikan baginya terutama di daerah Jawa Timur.
Nah, membagi-bagi kueh ini memang bukan perkara sederhana. Banyak orang yang rela menjadi penghianat demi kekuasaan. Dulu setiap detik mencaci maki, sekarang “menjilati pantat” penguasa. Sekarang, mereka
setiap saat menepuk dada merasa diri paling berjasa. Karena itu merasa wajar kalau dapat imbalan kursi, kursi kekuasaan.
Yang membagi kueh tentu saja kewalahan. Untuk menambah kursi menteri seperti masa Kabinet Dwikora II di tahun 1966, tentu tidak mungkin. Itu hanya terjadi di masa Bung Karno dengan jumlah menteri sampai 132 orang. Karena jumlahnya yang terbatas sedang yang ingin mendudukinya demikian banyak, maka pengadaan Wakil Menteri adalah salah satu jalan yang dapat ditempuh. Karena penunjukannya yang hanya berdasar Perpres,
maka kehadiran Wakil Menteri itu sangat mungkin untuk dilakukan.
Walaupun bukan sebagai anggota Kabinet, bagi para pemburu kursi kekuasaan, kedudukan sebagai Wakil Menteri dianggap cukup mentereng.
Bagi mereka tidak terlalu penting bahwa kedudukan, fungsi dan tugas seorang Wakil Menteri tidak terlalu jelas. Yang pasti, anggaran belanja negara akan semakin berat karena keberadaan mereka harus didukung
dengan fasilitas yang aduhai.
Sebaliknya, kalau di ujung sana orang sibuk membagi bagi kueh kekuasaan bagaimana dengan para pemilih ? Tentu saja tinggal berdoa.Semoga mereka yang dipilih menepati janji-janji kampanyenya. Bekerja demi kemaslahatan para Pemilih. Yang terpenting, jangan sampai masuk Koran Mandala karena jadi tersangka KPK***