Hamka juga mulai menulis buku. Roman pertama yang ditulisnya berjudul Si Sabariah. Dari honor menulis buku itu, dia membiayai pernikahannya. Setelah itu ditulisnya pula buku Laila Majnoen.
Tahun 1932, buku itu diterbitkan oleh Balai Poestaka. Tahun 1936 setelah sempat pulang kampung ke Agam, dia ditawari memimpin majalah (Muhammadiyah) Pedoman Masyarakat. Visi misi Pedoman Masyarakat seputar pengetahuan umum, moderasi agama dan sejarah.
Di tangan Hamka, majalah itu berkembang pesat. Satu tahun di tangannya (Januari 1935) oplag Pedoman Masyarakat meningkat dari 500 menjadi 4000 exemplar.
Sering kali Pedoman Masyarakat mengangkat masalah penggolongan masyarakat Minangkabau berdasar harta, pangkat, martabat dan gen. Juga masalah perbedaan paham antara kelompok tua dan kaoem moeda.
Hamka juga menulis buku “Di Bawah Lindungan Ka’bah” yang diterbitkan BP tahun 1938. Setelah itu dia menulis buku “Tenggelamnya Kapal Vander Wijck”. Buku itu menceritakan tentang percintaan Zainudin dengan Hayati yang terhalang adat, dan berakhir dengan kematian. Konon ada 84 judul buku yang ditulis sastrawan multi talenta itu.
Selain buku roman (sastra) seperti Merantau ke Deli, Di tepi sungai Dajlah, Terusir, Ayahku (Dr. Karim Amrullah), Bohong di Dunia, Pribadi Hebat, Cahaya Baroe dan lain lain, dia juga menulis buku rujukan tafsir al qur’an (Al Azhar) dan pelajaran sekolah.
Selain jadi wartawan dan sastrawan, Hamka juga aktif di perhimpunan Muhammadiyah. Sempat menjadi Ketua Wilayah Muhammadiyah Soematra Barat. Beberapa kali hadir dalam kongres Muhammadiyah dan ditunjuk jadi konsul di Makasar.
Di bidang politik dia masuk partai Masyumi. Dalam pemilu pertama (1955) dia terpilih jadi anggota DPR dari Masyumi.
Sebagai agamawan (ulama) Hamka terpilih secara aklamasi menjadi Ketua Umum (pertama) Majlis Ulama Indonesia (MUI) 1975. Tapi tahun 1981 mengundurkan diri. Soalnya Hamka ditekan Alamsyah Ratu Prawiranwgara (Menteri Agama) agar mencabut fatwa MUI tentang larangan orang Islam ikut merayakan Hari Natal. Dia tegas dan istiqomah pada aqidah dan memilih good bye.
Di hari tua, Hamka semakin menampakan diri sebagai orang bijak bestari. Perkataan dan perbuatannya mempertontonkan seorang filsufis. Tulisan dan ucapanya tersusun rapi dengan kalimat sederhana dan mudah dipahami. Beberapa kata mutiara yang masih saya ingat antara lain ; “Kalau hidup hanya sekedar hidup, babi di hutan juga bisa hidup”. Kalau kerja hanya sekedar kerja, kera juga kerja”.