Sebagai guru (tanpa ijazah formal) Buya mengajar di madrasah perkebunan di Bukit Tinggi.
Dalam perjuangan secara fisik, Buya juga ikut angkat senjata dalam perang mempertahankan kemerdekaan tahun 1947 ketika Belanda melakukan agresi militer.
Tahun 1949 pindah ke Jakarta. Masuk kerja sebagai PNS di Kementerian Agama (masa menteri Agama Wahid Hasyim) dan mengajar di beberapa perguruan tinggi.
Karena ketokohan dan kharismatik di masa tuanya, orang lebih suka memanggil Buya. Buya itu asal kata abuya, bahasa Arab yang berarti ayah atau orang dihormati.
Dia mendapatkan gelar Doktor (HC) dari Universitas Al Azhar dan Universitas Nasional Malaysia. Bahkan kemudian guru besar di Al Azhar.
Di Jakarta, bakat dan minat jurnalistiknya kambuh. Juli 1959 Buya menerbitkan majalah Panji Masyarakat. Tapi tahun 1960 (Agustus) Panji , dibredel pemerintahan Soekarno. Gara garanya, Panji memuat tulisan mantan wakil Presiden (Mohammad Hatta) berjudul “Demokrasi Kita”.
Dalam tulisan itu bung Hatta mengkritik demokrasi terpimpin yang merupakan kebijakan politik bung Karno.
Hubungan bung Karno dengan Hamka juga tidak begitu harmonis, bahkan terkesan musuhan. Itu terjadi karena dalam politik demokrasi terpimpin, bung Karno, memembubarkan partai Masyumi. Partai tempat Hamka berjuang secara politik.
Bahkan tahun 1963 Hamka ditangkap di rumahnya. Ketika itu suatu siang, Buya sedang istirahat tiba-tiba digrebeg aparat. Dia ditahan selama 2 tahun 4 bulan, tanpa peradilan. Rusdi Hamka putra tertuanya dalam buku memoar menulis almarhum ayahnya mengalami penyiksaan secara fisik. Direndam dalam air yang dialiri listrik.
Akibatnya Buya sakit. Dan kemudian karena pertimbangan kemanusiaan dibebaskan tak lama sebelum hancurnya kekuasaan bung Karno dan orde lama.