Oleh : Dedi Asikin (Wartawan Senior, Pengamat dan Aktivis Sosial)
ITU cerita Kolenel Sintong Panjaitan dalam buku “Perjalanan Seorang Prajurit Komando (Hendro Subroto-2009), tentang Mayor Prabowo Subianto.
Waktu itu (5 Mei 1985) Sintong dilantik jadi Komandan Kopashandha (Komando Pasukan Shandin Yudha), yang kemudian berubah menjadi Kopassus (Komando Pasukan Khusus).
Sebelumnya Sintong menjabat Komandan Pusat Pendidikan RPKAD (Resimen Parakomando Angkatan Darat) nama awal dari Kopassus.
Sintong itu menggantikan Brigjen Wismoyo Arismunandar yang diangkat menjadi Pangsam Mulawarman di Kalimantan.
Ketika sudah berada di Cijantung (mako Kopasandha), dia dilapori Assisten Personil Kolonel Bambang Sumbogo, ada Surat Perintah mutasi atas nama Mayor Prabowo yang sudah lama tidak dilaksanakan.
Tentu saja Sintong terkaget kaget.
BACA JUGA: Deny Siregar Bongkar Perang Bintang di Tingkat Elite, Partai Mulai Merapat ke Prabowo
Lalu ketika Prabowo minta menghadap, meski tidak lazim (ada ketentuan di Kopashanda seorang anggota hanya boleh bertemu/menghadap atasan langsung. Prabowo waktu itu menjabat wakil komandan Detasemen di 81/anti teror.
Atasan langsungnya adalah letkol Luhut (Binsar) Panjaitan (yang sekarang menjabat Menteri segala urusan kabinet Joko Widodo).
Ketika diterima, Prabowo menanyakan alasan kenapa dia dipindah dari Kopashandha. Sintong marah.
Baginya tidak boleh ada tentara menanyakan alasan perintah apapun termasuk perpindahan. Tentara itu hanya ada satu kata ketika menerima perintah, apapun ! Harus “siap laksanakan”.