M Nigara, wartawan sepakbola senior
ALHAMDULILLAH, Rizky Ridho dan kawan-kawan berhasil menjaga asa Merah-Putih di babak kualifikasi Puala Dunia 2026, grup F, Zona Asia, setelah Selasa malam (26/3/2024) menggilas Vietnam, 3-0, di Stadion My Dinh, Hanoi. Dua dari tiga gol dicetak oleh dua pemain yang baru saja dinaturalisasi.
Kemenangan ini sekaligus memukuskan langkah kita untuk bisa maju ke babak ketiga. Kemenangan ini pula mengulang hasil serupa, di tempat yang sama, 21 tahun silam. Tepatnya, 11 Desember 2003, dalam ranah Piala AFF. Dari catatan yang ada, 29 kali kita bertemu, 10 kali menang, 11 kali draw, dan delapan kali kalah.
Jay idzes mengoyak gawang Filip Nguyen pada menit kesembilan, 1-0. Dan, Ragnar Oratmangoen memperbesar kemenangan menjadi 2-0, menit 23. Lalu, Ramadhan Sananta, spesialis ujung tombak pengganti melengkapi, 3-0 pada masa injury time (90+8).
Kemenangan itu sungguh di luar dugaan. Saat saya diwawancara tvOne, beberapa jam sebelum laga, saya dan kita semua berharap timnas tetap menang, tapi skornya ya, 1-0. Saya sepakat dengan penyiar Putri Windasari, My Dinh sangat tidak ramah dengan timnas kita. Itu sebabnya saya hanya memberikan 1-0, tentu sambil deg-degkan.
Bahwa akhirnya kita bisa menang 3-0, itu adalah buah dari kesabaran dan keseriusan perencanaan. Semoga, meski masih panjang dan berliku, perjalanan tim Shin Tae-yong saat ini sudah semakin mendekati jalan yang benar.
Demi Merah-Putih
Kebahagiaan saya pribadi, mudah-mudahan juga dirasakan oleh sahabat-sahabat saya: Yesayas Oktovianus (Kompas), Erwiantoro alias Cocomeo, Reva Dedy Utama (antv/tvone), dan Iman Arief yang Januari 2009 akhir, ditugaskan secara informal oleh PSSI untuk melakukan penjajakan terkait naturalisasi pemain ke Belanda.
Naturalisasi yang dimaksud, konsepnya persis seperti saat ini. Pemain yang memiliki darah Indonesia, langsung atau tidak. Artinya dari ayah dan ibu atau kakek-nenek, atau juga dari buyut. Data sudah diberikan, lebih dari 400 pemain dari berbagai level. Tapi saat itu PSSI mengambil cara yang berbeda.
Bagi saya, dan kelima sahabat pada saat itu, untuk dan demi Merah-Putih, tidak ada yang keliru melibatkan pemain keturunan. Selain itu, naturalisasi hanya jalan pintas atau untuk dijadikan motivator bagi para pemain lokal.
Jujur, kita sesungguhnya tidak kekurangan bakat. Tapi, mengapa sejak 1930 hingga saat ini, belum sekalipun kita bisa tampil di Piala Dunia dan Olimpiade? Catatan: Ramang, Liong Ho, dan kawan-kawan pernah tampil di Olimpiade Merlbourne 1956. Namun saat itu tuan rumah masih boleh menentukan siapa saja peserta, atau belum ada babak kualifikasi. Kita juga pernah tampil di Piala Dunia Junior, 1979, di Tokyo, menggantikan Irak dan Korut, mundur karena masalah politik.
Padahal, sudah triliunan rupiah, bersyukurnya itu bukan uang pemerintah. Orang-orang yang ‘gila’ bolalah yang mengucurkan dananya.
Sebut saja D. Murthala (Aceh), TD. Pardede (Medan), Benny Mulyono (Warna Agung), Benniardi (Tunas Inti), Sigit Harjojudanto, Ismet Taher (Arseto), Nirwan D. Bakrie (Pelita Jaya), Sjarnoebi Said (KTB), Alex Wenas (Niac Mitra), dan banyak lainnya. Mereka tidak pernah hidup dari sepakbola, tapi mereka menghidupi sepakbola. Mereka tak ragu menggelontorkan uang untuk sepakbola. Mereka tidak pernah berpikir untuk mengambil kembali triliunan uang yang sudah mereka gelontorkan demi dan untuk merah-putih.
Namun, impian adanya timnas kita berlaga di putaran final Piala Dunia serta Olimpiade, terus pula menguap ditiup angin.
Mengapa? Banyak hal yang menjadi kendala. Salah satunya, maaf, anak-anak kita hampir selalu nervous atau minder jika harus bertemu dengan pemain-pemain asing. Dalam kondisi seperti itu, sehebat apa pun skill kita, akan lenyap.
Menyadari hal itu, maka Nirwan atau akrab disapa NDB, membentuk tim Primavera yang berlatih dan ikut kompetisi kelompok umur di Italia. Sebelumnya Sigit membentuk PSSI Garuda. Seperti kita ketahui, hasilnya masih jauh dari memuaskan.
Jika sekarang PSSI melanjutkan mencari jalan pintas, memurut hemat saya, tidak ada yang keliru. Jika dulu era 1970-80an Simon Tahamata yang murni berdarah Maluku namun lahir di Netherland lebih memilih menjadi pemain masional Belanda, juga tidak salah. Pun Raja Nenggolan yang lebih memilih Belgia negara ibunya, sama sekali tidak keliru.
Kita belum memiliki timnas, maaf, yang punya masa depan. Tapi sekarang? Begitu banyak pemain-pemain keturunan siap diambil sumpahnya untuk dan demi Merah-Putih. Mengapa? Karena tim nasional telah memiliki masa depan yang baik.
Kondisi ini menurut saya karena langkah Ketum Erick Thohir dengan duet mautnya Waketum PSSI, Prof. Zainudin Amali serta peran Sekertaris Jendralnya Yunus Nusi, begitu efektif. Tanggap, cepat, dan tepat, maka kondisi positif dapat kita rasakan.
Meski perjalanan masih panjang, saya memperkirakan masih 4-5 tahun lagi baru hasil maksimal bisa dipetik, tapi sinar terang sudah terlihat di ujung sana. Ya, rasa bahagia telah menjalar, jalan yang benar sudah semakin dekat.
Lalu, bagaimana dengan pemain-pemain lokal? Ini adalah tantangan yang besar. Artinya, jika dulu mereka hanya bersaing dengan pemain-pemain sempatan, klub-klub domestik, dengan sesama pemain yang memiliki segala rupa nyaris sama, kini mereka harus bersaing dengan saudara-saudara mereka yang ada di luar sana.
Bagi pemain memiliki mental kuat dan impian tegas, tantangan ini akan membuat mereja terpacu untuk maju. Tapi, jika mental dan impiannya biasa-biasa saja, mereka akan tenggelam dimakan waktu.
Meski demikian, saya selaku pribadi, tetap dapat menghormati sebarisan orang yang tidak setuju naturalisasi. Ada beberapa mantan bintang nasional sempat berkata kepada saya: “MN, saat ini, saya kok merasa seperti tidak punya tim nasional ya!” kata mereka.
Saya hormat dan respek pada mereka. Apa pun juga mereka yang sudah dan berjuang di lapangan. Namun sekedar mengiatkan, dunia saat ini sudah tidak memiliki batas.
Begitu pula sahabat-sahabat seprofesi. Saya pun mengingatkan, saat ini tugas sebagai wartawan, tidak melulu ada di tanfan kita. Jika tahun 1970, Piala Dunia di Meksiko, kita hanya bisa melihat tiga pertandingan yang disajikan TVRI, pembukaan, satu partai semifinal, dan partai final, lalu media cetak baru melaporkan secara rinci jauh setelah piala dunianya selesai dan wartawannya kembali ke tanah air, sekarang semua on the some time.
Jerman
Artinya, perubahan dahsyat telah terjadi begitu rupa. Jika kita ingin tetap dengan pola yang sama, maka kita akan tertinggal jauh sekali.
Sekedar memberikan gambaran, Jerman juara dunia 4 kali, 1954, 2974, 1990, dan 2014, saat ini tidak bisa lagi menutup diri. Jika 2014, Mesut Ozil pemain asal Turki masih sering dilecehkan, kini, meski tetap belum 100 persen penggila bola dan rakyat Jerman setuju, tapi Deutscher Fussball Bund (DFB), PSSInya Jerman telah sungguh-sungguh membuka diri.
Sedikitnya 10 pemain, 6 kulit hitam, 4 putih, ada dalam barisan tim berbintang 4 (tanda juara dunia) di dada itu. Bahkan kapten timnasnya adalah Likay Gundang (campuran Jerman-Turki), lalu Emre Can, juga berdarah Jetman-Turki. Aleksandar Pavlovic, murni imigran Serbia. Selebihnya berdarah Jerman-Afrika: Felix Nmecha dan Jamal Musiala (Nigeria), Malick Thiaw (Mali), Thilo Kehrer (Burundi), Jonathan Tah dan Serge Gnabry (Pantai Gading), serta Leroy Sane, ibunya peraih medali perunggu Olimpiade 1984 dan ayahnya mantan pemain sepskbola nasional Senegal.
Jika Jerman yang sudah empat kali menjadi juata dunia, lalu pernah memiliki bintang-bintang top dunia, tidak ragu menggunakan para pemain leturunan, kita ini siapa kok mau membatasi diri?
Sekali lagi, saya tetap menghormati mereka yang berbeda pendapat, karena perbedaan pendapat itu adalah hal yang biasa. Yang tidak kita inginkan, perbedaan itu membawa kita dalam permusuhan.
Al-imam Bukhari Rahimahullahu berkata: “Telah menceritakan kepada kami, Abdullah bin Maslamah, dari Malik, dari Humaid Ath-Yhowik, dati Anas bin Malik, ia berkata: “Kami pernah bepergian bersama Nabi shallahu ‘alaihi wasallam, yang berpuasa tidak mencela yang berbuka dan yang berbuk tidak pula mencela yang berpuasa,” (HR: Bukhari 1811).
Semoga bermanfaat….***