Oleh : Dedi Asikin (Wartawan Senior, Pengamat dan Aktivis Sosial)
SARUNG di republik yang kaya muslim tentu punya tapak lacak sejarah. Ketika suhu politik memanas akan ada bahasa sindiran “golongan sarungan”. Itu nada ledekan dari kelompok nasionalis kepada politisi islamis.
Zaman PKI dan Masyumi masih eksis, saling ejek itu sering terdengar panas. Ada nada permusuhan politik yang lumayan panas.
Ketika berlangsung debat cawapres jelang pilpres 2024, cak Imin (Dr.KH Muhaimin Iskandar) melontar istilah yang bikin para penyaksi terbengong bengong. Tak lain, adalah prasa slepet.
Kata slepet itu berasal dari ruang kobong alias pondok pesantren. Jika ada santri yang malas bangun, lurah santri (setara ketua OSIS) akan memukulnya dengan gulungan sarung.
Budaya kobong itu telah lahir dan tumbuh lama. Sekarang pun masih hidup di sebagian pondok. Itulah yang disebut slepet.
Istilah slepet yang diunggah cawapres Imin ditujukan kepada penyelenggara negara yang nakal (termasuk korupsi).
Kemudian awal bulan Ramadhan tahun ini, mendadak sontak berkembang dan viral berita “perang sarung” yang terjadi di beberapa tempat.
Itu juga bagian dari budaya pondok. Dari literasi yang saya temui sangat mungkin itu dimulai sejak tahun 1999. Setelah keberhasilan menurunkan rezim orba (mundurnya presiden Suharto) ketum PBNU Abdurahman Wahid (Gusdur) biasa melakukan tarawih keliling ke pondok-pondok pesantren.
Jika Gusdur dan rombongan sudah pulang, para santri meneruskan permainan. Kadang sampai larut malam. Salah satu permainan itu adalah saling gebug menggunakan gulungan sarung.
Perang baru selesai jika salah satu pihak ada yang menyerah dan dinyatakan kalah.