OLEH : WIDI GARIBALDI
Mahkamah Konstitusi tanpa Paman Anwar ( Anwar Usman) adik ipar Presiden Joko Widodo yang telah mengembangkan karpet merah agar keponakannya, Gibran dapat menjadi Wakil Presiden RI walau usianya belum 40 tahun, mulai bersidang untuk memutus perselisihan tentang hasil Pemilu. Paman Anwar yang sengaja di diskualifikasi oleh Majelis Kehormatan MK (MKMK) menjadikan Lembaga Tinggi negara itu akan bersidang dengan 8 hakim saja. Bukan dengan 9 hakim (jumlah ganjil) sebagaimana lazimnya.
Paslon 02 yang dinyatakan KPU memenangi kontestasi, memaksa Paslon 01 dan 03 mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi dengan membawa bertumpuk-tumpuk dokumen yang menyatakan bahwa pemilihan Presiden dan Wakilnya itu curang. Katakan saja soal penggelembungan suara, penggunaan dana Bansos yang tidak wajar, cawe-cawenya Presiden yang “lempar batu sembunyi tangan” ingin menjadikan anaknya sebagai Wakil Presiden.
Nah, ada beberapa pilihan yang dapat diambil oleh Mahkamah Konstitusi. Pertama, Lembaga Tinggi Negara itu menolak seluruh gugatan. Artinya, putusan KPU menjadi syah. Jadi, suka atau tidak, Oktober yang akan datang kita akan punya Presiden/Wakil Presiden baru.
Seandainya permohonan gugatan itu diterima oleh Mahkamah Konstitusi, berarti Keputusan KPU dianggap tidak sah. Artinya, pemilihan harus diulang. Pertanyaannya, apakah mungkin ? Soalnya, dibutuhkan biaya yang tidak sedikit. Paling tidak dibutuhkan alokasi biaya hingga Rp71,3 Triliun, seperti Pemilu yang lalu.
Belum lagi masalah waktu, energi dan kesiapan calon pemilih serta efek psikologis mereka yang telah dinyatakan memenangi kontestasi. Pilihan lain yang mungkin diambil oleh MK adalah menolak dan menerima sebagian dari gugatan.
Sungguh berat tugas, beban yang dipikulkan di atas pundak ke-8 Hakim MK itu. Kalau menolak gugatan, mereka akan dicap sudah diintervensi oleh pihak eksekutif. Mereka tak lebih dari burung Beo ! Kalau mengabulkan gugatan, “apa kata dunia ?” Putusan KPU dibatalkan. Paslon 02 dinyatakan batal memenangi pemilihan. Prabowo/Gibran urung menjadi Presiden/Wakil Presiden RI.
Pemilihan harus diulang. Dari mana cicisnya ? Belum lagi kesiapan lainnya, kesiapan mental calon pemilih terutama para pemilih Paslon 02. Nah, itu semua harus dipertimbangkan. Pokoknya rakyat tak menginginkan Mahkamah Konstitusi yang dilahirkan dari rahim era Reformasi itu menjadi Mahkamah Kalkulator. Mahkamah yang hakim hakimnya cuma pintar menghitung untung rugi, agar tetap dapat menduduki kursi Hakim nan empuk dengan segala macam fasilitasnya.
Adakah sanksi putusan MK ?
Putusan Mahkamah Konstitusi itu memang bersifat final and binding. Artinya, sekali MK memutus perkara, selesai sudah. Puas atau tidak puas terima saja.Sudah inkracht. Artinya, sudah berkekuatan hukum yang pasti dan tetap. Tidak ada lagi banding, ke pengadilan manapun seperti diatur dalam Pasal 10 (1) UU No.8/2011 tentang Perubahan atas UU No. 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Selain itu, putusan MK itu bersifat erga omnes. Artinya, putusan MK itu mengikat dan harus dipatuhi oleh siapapun. Harus dipatuhi oleh mahasiswa hingga Menteri. Harus dipatuhi Presiden hingga Mang Emen yang menjadi kuli bangunan. Harus dilaksanakan oleh Lembaga Tinggi lainnya.Katakanlah BPK atau Mahkamah Agung.
Lalu, bagaimana kalau putusan MK itu tidak dilaksanakan oleh Mang Emen atau Presiden ? Nah, sampai disini, sulit untuk dijawab. Tidak ada undang-undang yang mengaturnya. ***