Oleh : Dr. KRMT Roy Suryo (Pemerhati Telematika, Multimedia, AI & OCB Independen)
PASCA pengumuman Hasil Pemilu 2024 versi KPU 20 Maret 2024 lalu (yang sementara mengklaim Paslon 02 sudah seolah-olah memenangi kontentasi tersebut), kondisi Pemerintah makin tidak jelas arah dan tujuannya. Di satu sisi tidak mau comment perkembangan Gugatan 01 dan 03 di MK, padahal jelas-jelas di sana menyebut nama secara spesifik, namun di sisi lain masih terlihat juga sibuk cawe-cawe mengatur Kabinet yang akan dibentuk, padahal belum resmi diputus oleh MK, baru pengumuman sepihak KPU.
Inilah yang disebut Belagu, setelah dengan sombongnya mengeluarkan Aturan internal No 345/2024 yang mengecualikan dari Publik (baca: merahasiakan) sumber data CSV Comma/Character Separated Value yang digunakan sebagai “Hasil Pemilu 2024” selama 3 tahun tanpa dasar sesuai UU KIP 14/2008, kemarin dalam Sidang di KIP, Admin PPD KIP mengeluarkan lagi sebuah Aturan yang SIKAREP alias se-karep karepnya dhewe (alias semaunya sendiri) dalam Pasal 30 ayat 4 pada PKPU Nomor 5/2021 tentang Penyelenggaraan Sistem Pemerintah Berbasis Elektronik Komisi Pemilihan Umum.
Dalam Peraturan KPU tersebut menurut mereka disebuntukan bahwa “Kode sumber (source code) SIREKAP dan riwayat perubahannya tidak dapat diberikan, karena merupakan Hak Cipta yang dimiliki oleh KPU sebagai hasil pengembangan SIREKAP oleh pihak penyedia; dan Laporan audit sistem (software atau hardware) dari pihak eksternal KPU tidak dapat diberikan, karena merupakan dokumen rahasia yang hak ciptanya dimilki oleh pihak auditor eksternal KPU”. Benar-benar ini sebuah Aturan Belagu alias SIKAREP yang menabrak Akal sehat alias Otak Waras.
Bagaimana mungkin Source Code Program yang Pengembangannya dibiayai oleh Uang Rakyat dapat disebut “Rahasia” ? Wajar bila IA-ITB (Ikatan Alumni ITB) dan KAPPAK-ITB mempertanyakan ke Rektor sampai menggugat Kampus Ganesha di Bandung tersebut, karena sampai dengan saat ini Pihak ITB tampak diam seribu bahasa alias sama sekali tidak mau bicara tentang MoU-nya di Tahun 2021 tersebut bersama KPU, apalagi setelah kerjasamanya dengan Cloud-Server Alibaba.com di Singapore terbongkar.
Ditambah lagi di PKPU tersebut disebuntukan bahwa hasil Audit adalah “Hak Cipta Auditor eksternal” adalah sebuah klausul yang sama sekali di luar nalar atau ini justru Modus yang digunakan untuk menutupi Hasil Audit tersebut? Bahkan jangan-jangan Audit tersebut tidak pernah ada, karena hingga sekarang jangankan Hasilnya, karena Nama Auditor Eksternalnya saja tidak pernah berani mau diungkap ke Publik, padahal Hasil Audit tersebut sangat diperlukan untuk menguji kebenaran Prosedur dan Mekanisme SIREKAP di KPU. Makanya sejak awal saya selalu mendorong adanya Audit Forensik sekaligus Audit Investigatif ini.
Seiring senada alias Segendang sepenarian dengan KPU, Paslon yang itu pun tampak makin Wagu karena merasa di atas angin selalu mendapatkan pembelaan. Mulai dari “show of force”-nya menampilkan selebrasi dimana-mana tanpa sadar bahwa apa yang dilakukannya jelas-jelas melanggar etika, sikap jumawa para penasehat hukumnya yang sangat kuat terkesan “pantang mundur membela yang bayar”, hingga cawe-cawenya yang makin Vulgar namun berlagak “lamis” (Jw) yang berarti apa yang dikatakannya harus diartikan 180° kebalikannya. Masyarakat sebenarnya sudah muak dan tahu soal tersebut namun hanya tunggu waktu saja.
Oleh karena itu statemen 303 Akademisi yang terdiri dari Para Guru Besar, Profesor, Doktor dan berbagai Civitas Akademika terakhir yang mendesak MK dalam bentuk “Amicus Curae” atau Naskah “Sahabat Pengadilan”, dimana Amicus curiae diartikan sebagai pihak yang merasa berkepentingan terhadap sebuah perkara sehingga memberikan pendapat hukumnya kepada pengadilan (dalam hal ini MK). Jadi ini merupakan bentuk kepedulian Akademisi yang masih berpikir waras untuk mewaraskan MK tersebut, salah satunya adalah berani mendiskualifikasi Calon yang jelas-jelas melanggar Etika dalam prosesnya.
Dengan demikian seharusnya MK jangan ragu lagi untuk berani mengubah posisinya selama ini yang hanya selalu dianggap oleh masyarakat sebagai ” Mahkamah Kalkulator” -atau bahkan lebih parahnya lagi dengan sebutan terakhir sebagai “Mahkamah Keluarga”, gara-gara Putusan No. 90 yang dikomandani Paman Usman kemarin- karena seharusnya MK bisa keluar dari sekedar berdasar kuantitatif semata namun juga melihat kualitatifnya. Artinya Keputusan MK bukan sekedar menghitung prosentase “50 plus 1” sebagaimana kebiasaan selama ini, karena misalnya saja statemen Ketua KPU yang mengatakan bahwa 154.541 TPS salah angka dan dikoreksi (dari 820.223 TPS) itu sudah merupakan hal yang sangat fatal secara kualitas, meski kuantitasnya hanya 18.9%.
Kesimpulannya, kondisi sudah semakin jelas dan nyata di depan mata: KPU yang belagu dan Paslon yang itu makin Wagu, apakah MK masih mau ragu? Seharusnya tidak, dengan Dukungan Publik dan InsyaaAllah Ridho dari Gusti Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa di bulan suci Ramadan ini, sudah seharusnyalah MK bisa berani membuat sejarah yang berarti bagi Republik ini. Sekali lagi Indonesia berniat memasuki Indonesia Emas 2045, menuju 100 tahun usia Kemerdekaannya. Akan sangat sayang sekali bila menyongsong hal tersebut justru Indonesia semakin mundur dalam berbagai bidang sebagaimana yang terjadi sekarang ini. At last but not least, Ayo MK, Kapan lagi kalau tidak sekarang ? .- ***