Oleh Dedi Asikin (Wartawan Senior, Pengamat dan Aktivis Sosial)
DI tatar Sunda ada ungkapan “Sawan kuya”. Prasa itu sudah lama berkembang, sudah memenuhi unsur TSM, Terstruktur, Sistimatis dan Masif. Bahasa Politik yang sedang trending kini.
Sejatinya ungkapan itu berarti kuya, (kura-kura) sesudah naik tak bisa turun. Tidak bisa atau tak mau turun, gak jelas.
Ucapan itu sering juga dilarapkan kepada harga-harga. Utamanya barang yang bernilai ekonomis, seperti harga sembako. Kalau sudah naik itu barang, jangan diharap bisa turun. Sawan kuya juga itu.
Bisa naik tak bisa turun. Biasanya itu terjadi menjelang hari-hari istimewa seperti lebaran (Idul Fitri). Atau juga karena kebijakan pemerintah, seperti harga BBM atau sewa paket listrik.
Nah sekarang mungkin relevan jika diciptakan kata “sawan” tapi gabungan katanya bukan “kuya”.
Itu pejabat yang sudah naik tak bisa (tak mau) turun. Jangankan rela, atas kemauan sendiri, dieundeur eundeur, disuruh turun, tidak mau juga. “Haben nagen” (juga prasa dalam bahasa Sunda). Kita kasih julukan “sawan kursi” saja mereka mah.
Sesudah duduk di kursi malas berdiri. Jabatan yang identik dengan kekuasan itu nyamannya bukan kepalang.
Turun, turun, turunkan Jokowi sekarang juga.
Itu adalah nyanyian plintiran, mahasiswa dan para pendemo akhir-akhir ini.
Suara minta presiden Jokowi turun itu terdengar masif dimana-mana, dalam setahun ini.