Oleh : Dedi Asikin (Wartawan Senior, Pengamat dan Aktivis Sosial)
Dr. Zaenal Arifin Muhtar melempar wacana yang kontroversi. Kata pakar dan dosen Hukum Tata Negara UGM itu, kita tidak boleh/tidak bisa menyalahkan Jokowi seutuhnya. Pelencengan dan transformasi etika presiden ke tujuh itu, sebagaian besar karena kesalahan kita, terutama partai partai politik. Partai politik 82% berkumpul dalam koalisi yang mendukung kekuasaan Joko Widodo. Masyarakat juga menyukainya.
Hasil survei Indikator Politik Indonesia bulan Desember, tingkat kepuasaan masyarakat masih 76,5%. Angka itu menurun dari sebelumnya (82%).
Parlemen selalu Oke oce pada langkah dan kebijakannya, masyarakat yang selalu mengelu elu kehadirannya dengan keplok tangan dan selfi selfian, kata Uceng (panggilan akrab Zaenal Arifin Muhtar).
Dalam bahasa keren, tidak ada check and balance.
Gerakan mahasiswa yang yang masih parsial, tidak mendapat respon dan dukungan masyarakat lain. Pun demikian media massa. Waktu itu media massa raksasa masih asyik menyanjung dan mengelu-elu. Memberitakan dengan headline ketika dia blusukan masuk got dan masyarakat mengapresiasi dengan keplok tangan. Dijuluki sebagai satu satunya presiden yang sederhana dan merakyat, hore.
Ketika demo soal revisi UU KPK 2019 dan UU Omibus Law (2020), 4 mahasiswa UGM yang dibunuh (aparat) tak mendapat respon.
Gerakan-gerakan masayarakat civil, baru muncul belakangan. Itupun belum memiliki kekuatan optimal. Sementara Jokowi sudah menjelma menjadi ular naga yang panjangnya bukan kepalang. Menjalar jalar menyebar kian kemari.
Dia juga sudah membangun infra struktur pemerintahan presidensialnya, yang tangguh. Kapolri dan Panglima TNI dia ambil teman-teman dekatnya yang sampai kadar tertentu akan pasang badan melindunginya.
Kita baru sadar ketika demokrasi dan daulat rakyat sudah sekarat. Dan dia (Jokowi) semakin membusungkan dada. Ini dadaku mana nyalimu.
Nafsu besar mempertahankan kekuasaan dengan membangun dinasti tidak mendapat tantangan.