Oleh: Widi Garibaldi
BAHWASANYA Mahkamah Konstitusi itu tidak sama dengan Mahkamah Kalkulator atau Mahkamah Keluarga, akan dibuktikan oleh ke 8 Hakim Mahkamah Konstitusi tanggal 22 April nanti. Di minggu ke-3 bulan ini mereka diharapkan sudah selesai memeriksa dan mengadili perkara gugatan yang diajukan oleh Paslon 01 dan 03.
Walaupun 2 Menko dan 2 Menteri telah didengar kesaksiannya, sulit diduga keputusan macam apa yang akan diambil oleh ke-8 Hakim itu. Soalnya, kesaksian yang berhasil dijaring dari ke 2 Menko dan ke 2 Menteri itu tidak terlalu signifikan. Mengenai soal bansos misalnya, yang diduga telah dimanfaatkan untuk kemenangan Paslon 02.
Menteri Keuangan Sri Mulyani meyakinkan sidang bahwa dana bansos tidak berasal dari APBN tetapi dari dana operasional Presiden. Lalu mengapa dibagikan menjelang Pilpres ? Karena kita sedang mengahadapi ancaman El Nino. Pokoknya, jawaban-jawaban yang dilontarkan para pembantu Presiden itu, masuk akal.
Nah, kira-kira putusan macam apa yang akan diambil oleh MK ? Paling tidak, para pendukung Paslon 01 yang berjumlah 40.971.726 orang dan 27.041.508 pemilih Paslon 03 mengharapkan agar Paslon 02 yang dinyatakan oleh KPU memenangi Pilpres segera dianulir. Artinya, Pilpres harus diulang. Mungkinkah ?
Berawal dari karpet merah untuk Gibran
Melalui putusan nomor 90/PUU/-XXI/2023, Mahkamah Konstitusi telah menggelar karpet merah untuk Gibran, anak sulung Presiden Jokowi untuk menjadi calon Wakil Presiden, kendati usianya belum 40 tahun.
Ketua MK, Anwar Usman yang merupakan adik ipar Presiden Jokowi, tidak mau mengundurkan diri ketika memeriksa perkara itu, kendati Pasal 17 UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mewajibkannya melakukan hal tersebut. Inilah awal mula terjadinya kekisruhan, sehingga Mahkamah Konstitusi, Lembaga tinggi negara yang lahir dari era Reformasi itu mendapat pelesetan sebagai Mahkamah Keluarga.
Sejak lama pula Lembaga Tinggi yang lahir berdasarkan Pasal 24 (2) Konstitusi itu dikenal sebagai pengadilan dengan putusan serba “aneh”. Ambil contoh, Mahkamah Konstitusi misalnya pernah mengambil putusan yang bersifat ultra petita, yakni putusan yang sebenarnya tidak diminta oleh Pemohon atau putusan yang melebihi permohonan dari Pemohon. Selain itu, Mahkamah Konstitusi juga pernah memutuskan perkara mengenai kepentingannya sendiri. Kata orang “jeruk makan jeruk”. Melalui Putusan No. 005/PUU-IV/2006, Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Komisi Yudisial tidak berwenang mengawasi Hakim Mahkamah Konstitusi.
Sebelumnya, Lembaga yang sengaja dibentuk antara lain untuk mengawasi tingkah polah para Hakim yang dijuluki “Yang Mulia” itu berwenang mengawasi para Hakim Konstitusi maupun para Hakim di bawah naungan Mahkamah Agung.
Sepenuh harapan kini ditumpahkan kepada Lembaga Tinggi negara ini. Lembaga yang diharapkan dapat mempersembahkan substantive justice, keadilan yang sesungguhnya, kepada seluruh rakyat. Bukan hanya sekedar procedural justice. Keadilan semu, sekedarmemenuhi ketentuan dan persyaratan.
Mungkinkah ? .-***