Indonesia memang termasuk negara yang sudah meratifikasi Deklarasi HAM Universal itu, sehinggga harus menerima dan melaksanakan semua ketentuan lembaga dunia tersebut.
Sementara pengamat militer dan pertahanan Conny Bakrie mengingatkan pemerintah akan risikonya jika mengabaikan peringatan HAM PBB.
Tentu saja kabar itu angin sejuk bagi para pemohon PHPU yang kini sedang disidang Mahkamah Konstitusi.
Terasa ada angin sepoy yang bertiup semilir dari ruang sidang yang dipimpin ketua MK baru, hakim Suhartoyo. Sepertinya MK akan keluar dari Pakem sebagai Mahkamah Kalkulator. Mahkamah yang hanya meluruskan perhitungan suara. Siapa (sebenarnya) dapat berapa. Siapa yang sesungguhnya menang. Atau paling banter lakukan pemungutan suara ulang. Itulah tugas MK yang dipahami selama ini. Lebih berorientasi pada kuantitatif, kepada itung itungan matematik. Melupakan tugas yang sesungguhnya hakiki, kualitatif.
Tapi sejak awal persidangan PHPU 2024, sudah tampak isyarat transformasi pemahaman para hakim MK.
Karenanya pihak terkait, (kuasa hukum) paslon 2 sedikit kecele. Awalnya mereka yakin gugatan (paslon 1 dan 3 ) salah kamar.
Soal kecurangan dan proses pemilu, kata mereka, seharusnya diajukan ke Bawaslu. Memang begitu kalau cuma mendelik UU 7 tahun 2017 (tentang pemilu). Tapi, seperti kata pakar hukum tata negara Bivitri Susanti, tugas MK juga menyangkut soal pelanggaran konstitusi.
Lagian Bawaslu sekarang ini lebih dianggap sebagai polisi tidur. Banyak pengaduan yang cuma didengar sambil mendengkur. Masuk di kuping kanan jebir keluar di kiri tanpa solusi.
Karena itu MK sekarang lebih moderat dan sedikit progresif. Mereka mau mencermati pengaduan yang bersifat kualitatif, menyangkut kualitas pemilu. Termasuk di situ adanya laporan dan dugaan kecurangan yang tidak atau belum dijamah Ahmad Bagja (ketua Bawaslu).
Jika saja sikap MK itu juga disebabkan adanya teguran Komite HAM PBB di atas, tentu saja segala puji bagi Allah, alhamdulillah.