OLEH: WIDI GARIBALDI
Berita Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan dilebur, menjadi bagian dari Lembaga Ombudsman, semakin santer terdengar. Manakala hal itu benar terjadi, Lembaga yang semula dibentuk dengan maksud menjadi trigger terhadap Kejaksaan dan Kepolisian yang dianggap sejak lama selalu “memble” dalam pemberantasan korupsi, akan menjadi Lembaga yang hanya berwenang di bidang pencegahan belaka.
Artinya, KPK yang tadinya membuat para koruptor “panas dingin”, akan disunglap menjadi Komisi Pencegahan Korupsi saja. Dari pemberantasan menjadi pencegahan. Tak berwenang lagi melakukan OTT. Tak berwenang lagi melakukan penyelidikan hingga penuntutan. Paling banter cuma berusaha agar korupsi, musuh rakyat itu tidak semakin merajalela menggerogoti kekayaan negara untuk kepentingan diri sendiri. Bagaimana caranya ? Antara lain melalui pendidikan. Sejak dini anak-anak bangsa seharusnya sudah dididik untuk menabukan dan mengharamkan yang bukan haknya. Kalau sudah menjadi Pejabat, mereka diharapkan tak lagi bernafsu menggrogoti milik negara.
Memang sejak UU No.19 Tahun 2019 diundangkan ,yang merupakan perubahan kedua atas UU No.30 Tahun 2002 tentang KPK, Lembaga pemberantas korupsi itu tak lagi perkasa. Posisinya kini diletakkan dalam rumpun kekuasaan eksekutif. Walaupun dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya disebut independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun, harus diakui bahwa jangkauan wewenangnya akan banyak dipengaruhi oleh kehendak dan arahan pemerintah.
Sejak ketuanya, Firli Bahuri dinyatakan sebagai tersangka dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi penyuapan/pemerasan terhadap SYL mantan Menteri Pertanian, tetapi sampai saat ini masih bebas berkeliaran, KPK tak lagi tertulis dengan tinta emas dalam sejarah bangsa ini. Namanya semakin hancur ketika tak kurang dari 90 pegawainya terbukti melakukan pungutan liar di rumah tahanan sendiri. Bukan itu saja. Ternyata seorang jaksanya terbukti melakukan pemerasan terhadap seorang saksi. Nah,namanya benar-benar hancur hingga tingkat nadir. Nampaknya, pemerintah sengaja membiarkannya merana. Pimpinan KPK kini tinggal 2 orang mantan hakim yang tidak akrab dengan tugas-tugas penyidikan-penuntutan, seorang akademisi dan seorang yang berasal dari kejaksaan.
Lain dulu lain sekarang.
Dulu, paling tidak pada waktu KPK dipimpin oleh Taufiqulrakhman Ruki yang juga Jenderal Polisi, setiap ada anak buah yang coba-coba bermain kotor, segera ditangani dengan cepat dan serius hingga harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di muka Meja Hijau. Sebut saja misalnya, Komisaris Polisi S yang memeras seorang Notaris dalam perkara penjualan tanah Patal Cipadung. Dia harus meringkuk di balik jeruji besi. Ada lagi seorang jaksa bernama UTG yang terlibat perkara pemerasan terhadap seorang pengusaha bernama AS sebanyak 6,6 miliar rupiah. Dia harus mempertanggungjawabkan perbuatan jahatnya dengan pidana penjara bertahun tahun.
Di samping itu juga penegak hukum lainnya. Ada hakim. Ada panitera dan advokat. Semuanya ditangani serius, sampai tuntas. Tindakan tegas ini membuat para petugas KPK merasa harus benar-benar mentaati segala ketentuan. Termasuk tak boleh menerima apapun dari tuan rumah kalau ada undangan. Pokoknya semua biaya perjalanan petugas KPK telah ditanggung oleh instansi sehingga mereka dilarang menerima katakanlah, biaya makan minum atau hotel. Ketaatan seluruh petugas membuat KPK menjadi lembaga yang power full. Siapapun yang berurusan dengan lembaga yang penuh wibawa ini pasti berkeringat dingin.Tak perduli, pegawai negeri biasa hingga Menteri.
Sekarang, “jaman” telah berubah. Kendati dalam kampanyenya pada Pilpres tahun 2014 dan 2019, Presiden Jokowi berjanji akan menegakkan sistem hukum yang bebas korupsi, bermanfaat dan terpercaya. KPK yang tadinya digadang gadang akan mampu memberantas benalu korupsi, kini dibiarkan merana. Kepercayaan rakyat terpuruk hingga tingkat nadir.
Semoga,kabar akan dileburnya KPK menjadi bagian dari Ombudsman itu sekedar proef balon semata. Sekedar untuk mengetahui kemana angin berhembus. Sejauh mana pendapat masyarakat. Kehendak yang diyakini justru ingin agar lembaga pemberantas korupsi itu benar-benar menjadi Komisi Pemberantasan Korupsi, bukan justru menjadi Komisi Pencegahan Korupsi semata. Bukankah semua Paslon pada Pilpres 14 Februari yang lalu sudah berjanji akan memberantas korupsi ? Atau hanya sekedar janji kampanye belaka ?***