Oleh : Dedi Asikin (Wartawan Senior, Pengamat dan Aktivis Sosial)
DUA kosa kata itu beti alias beda tipis, cuma beda akhiran doang. Tapi keduanya memiliki makna cukup ekstrem dan beda cara menghadapinya.
Yang pasti keduanya adalah keniscayaan, sebuah keharusan, must be.
Malah dipercayai sebagai fitrah Allah.
Beda pendapat harus terjadi dimana mana dan antar siapa. Tak perlu di dalam kelompok besar. Di dalam satu rumah saja beda pendapat itu bisa terjadi. Semua tergantung kepada managemen perbedaan itu.
Allah memberi kiat dalam beberapa surat. Misalnya sekedar mengingatkan dalam surat Hujurat ayat 10, “Inamal muminuna ikhwatun”, sesungguhnya diantara mukmin itu bersaudara. Atau Al Imran 103, “Berpeganglah kepada tali agama dan jangan bercerai berai”.
Bercerai berai karena beda pendapat atau dalam bahasa politik beda pilihan sudah lama terjadi.
Di Indonesia cukup besar. Kenapa ? Antara lain karena penduduk Indonesia cukup besar, nomor 4 di dunia setelah China, India dan Amerika. Keistimewaannya bangsa Indonesia ini tersebar dalam 300 etnis atau 1340 suku bangsa dengan 718 bahasa.
Banyak partai politik (sekarang 2024 ada 24 parpol) ikut perhelatan pemilu.
Katanya juga banyak agama. Islam saja ada 4 mazhab. Madzhab Safei merupakan mazhab yang paling dulu lahir dan paling banyak pengikut. Indonesia juga sedang menegakkan demokrasi dan konstitusi. Tidak semua orang berada dalam pendapat dan pilihan yang sama.
Ketika ada yang bertanya kepada rosul Muhammad kiat mengatasi beda pendapat atau beda pilihan, kata rasul; “perbanyaklah ilmu kamu”.