Oleh : Dedi Asikin (Wartawan Senior, Pengamat dan Aktivis Sosial)
MUDIK dan macet itu ibarat kembaran. Mudik pasti macet, macet, pasti lagi mudik ya.
Mudik itu perjalanan melelahkan, tapi juga menyenangkan. Mudik tidak macet terasa hambar. Bagai sayur tak bergaram.
Teman saya dapat jodoh ketika mudik dan macet. Iseng-iseng jadi don yuan, eh kecantol beneran. Beranak pinak. Sekarang anaknya sudah delapan dengan 12 cucu. Kalau mudik ada 2 mobil dan 3 motor. Ngaleut ngabandaleut kaya pengungsi Palestina.
Saya mengalami macet mudik sejak tahun 60 an. Ketika masih bujangan, bagai bajingan naik bis. Kalau perlu di tingkat dua, tak beratap. Jika panas bercucur keringat. Jila hujan berbasah kuyup. Tapi senang bukan kepalang. Waktu itu masih punya gacoan di lembur. Tapi jodoh Tuhan yang atur. Diberi jodoh orang Bandung. Anak 5 dan 8 cucu.
Saya juga korban keadaan, jadi urban ke kota. Jadi petani seperti ayah, ternyata cuma tinggal daki, gak mukti-mukti.
Tapi di kota juga tak jadi menteri seperti Harmoho atau profesor Krisna Harahap yang jadi Hakim Agung 17 tahun. Edun suredun.
Apalagi seperti Joko Widodo. Orang pinggir Kali Karang Tengah itu, planga plongo urban ke Jakarta. Eh nasibnya luar biasa. Tak perlu dikata kata. Allah sudah ketuk palu di hadapan malaikat Jibril. Soal akhir hidup yang terjadi dan dia lakukan, biarlah dia yang memaknai.
Saya cuma jadi kuli tinta, kuli disket dan sekarang buruh digital. Sedikit lebih berkasta dari pada buruh tembok. Apa iya? Ah itu mah halusinasi doang. Lebihnya cuma gampang kenal dengan semua orang mulai orang jalanan sampai penghuni gedongan, penjabat atau penjahat.
Tapi pekerjaan kuli tinta itu menyenangkan. Pergi, ketemu orang ngobrol sambil ketawa ketiwi, jadi deh tulisan. Jadi duit kecil kecilan. Jauh panggang dari api jika dibanding jadi penambang timah ilegal. Tapi kemudian masuk penjara. Amit amit jabang tutuka.
Sekarang saya masih wartawan dan menulis terus. Cuma bukan lagi wartawan stuktural, wartawan kultural barangkali.