Oleh : Dedi Asikin (Wartawan Senior, Pengamat dan Aktivis Sosial)
MANG Ihin (alm) alias Solihin GP banyak bercerita tentang Jawa Barat bagian selatan.
Menurut Gubernur (1970-1975) itu semua gubernur dan pemerintah provinsi Jawa Barat sering kali bingung menangani Jawa Barat bagian Selatan itu.
Kata beliau dari dahulu, sejak pemerintahan kolonial wilayah itu nyaris tak boleh dijamah.
Ada semacam mitos dan pesan karuhun. Daerah itu merupakan reservasi atau cadangan air untuk suply ke wilayah tengah dan utara. Karena itu ada sikap moral untuk membiarkan wilayah itu tidak diutak atik.
Bisa saja diartikan itu pesan, sebaiknya dikosongkan. 60% wilayah Jabar Selatan itu merupakan hutan lindung yang dikelilingi hutan tropis. Dari sana berhulu sekitar 20 buah sungai yang mengalir ke bagian tengah dan utara. Termasuk sungai Citarum yang mensuplai interkoneksi listrik Jawa dan Bali melalui 3 bendung (Jatiluhur, Cirata dan Saguling).
Pemerintah kecolongan. Diketahui 70% lahan di Jabar Selatan sudah dikuasai masyarakat dan swasta.
Itu mungkin terjadi ketika pemerintah hijrah ke Jawa Tengah ketika terjadi perang kolonial ke 2 (1947-1949).
Tahu tahu, kata mang Ihin, Jabar Selatan telah berpenghuni. Ternyata pula mereka, sadar atau tidak, telah melakukan penebangan dan pembabadan hutan secara tidak beraturan. Akibatnya terjadi kerusakan lingkungan dan bencana (banjir dan longsor).
Pemerintah diawal 1950 telah menemukan fakta kerusakan lingkungan di Jabar Selatan.
Sementara wilayah tengah dan utara, yang merupakan dataran rendah yang landai, sudah mulai dijamah untuk pembangunan ekonomi. Ketika Mataram menyerang Batavia sekitar abad 17, di utara sudah dilakukan pengembangan pertanian. Tanah-tanah dataran mulai ditanami padi untuk perbekalan pasukan. Juga para nelayan mulai mengarungi laut menangkap ikan.