Oleh : Dedi Asikin (Wartawan Senior, Pengamat dan Aktivis Sosial)
JIKA pun ada sedikit kontroversi tentang nilai kejuangan, toh Raden Ajeng Kartini, (lahir di Mayong Jepara 1879) sudah ditetapkan sebagai pahlawan nasional.
Presiden Soekarno menetapkan dan menanda tangani Kepres 108 tahun 1964. Sekaligus menetapkan hari kelahirannya 21 April sebagai hari besar nasional.
Ia berjuang untuk kesetaraan gender. Perempuan tidak boleh bodoh. Tidak boleh pasrah pada adat yang membelenggu. Cuma pintar membrojolkan anak sebagai bukti bakti dan setia kepada suami. Senang atau tidak senang seorang perempuan waktu itu, harus menerima laki laki sebagai jodoh yang dipilihkan orang tua. Tidak bisa (boleh) memilih sendiri.
Lalu harus taat menjalani masa pingit di rumah setelah usia 12 tahun.
Selain memendam cita-cita luhur mengangkat derajat dan martabat kaum perempuan, Kartini memiliki bakat dan senang menulis. Segala keresahan dia tumpahkan dalam surat-surat yang dia kirim kepada sahabat sahabatnya di negeri Belanda.
Diantara banyak sahabat bulenya ada yang bernama Stela dan suami isteri JH Abendanon.
Tulisannya bergaya easay, enak dibaca. Sastrawan WS Rendra memujinya. Hanya sastrawan Asrul Sani yang mampu menandingi, puji Rendra.
Surat surat bergaya easay itu dibukukan oleh JH Abendanon dengan judul “Door duitsternis tot licht”. Dari gelap terbitlah terang.
Kartini itu secara fisical orangnya lincah. Gerakannya cepat, mendekati tomboy.
Kartini sendiri mengakui keistimewaan ciri fisik dirinya. Dalam sebuah surat kepada sahabatnya Estelle Zee Handelaar, dia menulis :