“aku ini disebut koda koree atau kuda liar. Itu karena aku tidak biasa berjalan lambat tapi melompat lompat. Aku juga sering dimaki karena suka tertawa terbahak bahak”.
Ketika akhirnya dicarikan jodoh dan mau menikah dengan bupati Rembang Kangjeng Raden Mas Adipati Ario Singgih Djojo Adinjngrat (jadi istri ke empat) ia mengajukan syarat anatara lain ingin mendirikan sekolah untuk anak-anak perempuan. Permintaan itu dipenuhi bakal suaminya.
Sekolah perempuan itu berada di gerbang Timur Rumah Dinas Bupati Rembang. Dia Kartini mengajari kaum perempuan berbagai keterampilan dan adab perempuan.
Sayang usia si penyongsong terbitnya terang itu, tidak berumur panjang.
Raden Ajeng Kartini wafat dalam usia 25 tahuh, 4 hari pasca melahirkan putra pertamanya.
Sesungguhnya masih ada Kartini Kartini lain yang hidup dan berjuang untuk kesetaraan gender, seusai tempat kondisi dan waktunya:
RADEN DEWI SARTIKA
Putri dari Patih (wakil bupati) Bandung Rd. Rangga Somanagara dengan ibu Raden Ayu Rajapermas lahir 4 Desember 1884.
Ketika usia 9 tahun, ayahnya diasingkan pemerintah Hindia Belanda ke Ternate dan 7 tahun kemudian wafat di sana. Karena ibunya harus ikut ke pengasingan, Uwi (panggilan kesayangan Dewi Sartika), dititipkan pada uwanya patih Cicalengka.
Ketika usia 18 tahun, cita-citanya mendirikan sekolah perempuan, terlaksana berkat bantuan bupati Bandung RAA Martanegara. Sekolah itu awalnya menggunakan ruang belakang pendopo kabupaten dan diberi nama SAKOLA ISTRI.