Oleh : Widi Garibaldi
PENANTIAN lama dan melelahkan itu, berakhir juga. Mahkamah Konstitusi sudah mengetukkan palunya. Vonnis Lembaga Tinggi negara itu dibacakan oleh ke 8 Hakimnya secara bergiliran. Seperti diduga, putusan itu dibacakan dengan komposis i5 : 3. Artinya, putusan itu tidak dihasilkan dengan suara bulat, tetapi benjol. 5 Hakim menolak seluruh permohonan sedang yang 3 orang mengabulkan. Berlainan dengan 5 rekannya yang menolak permohonan Paslon Capres 1 dan 3, mereka yang mengabulkan permohonan terdiridari Prof. Saldi Isra, Prof. Arief Hidayat dan Prof. Enny Nurbaningsih. Semuanya berasal dari dunia akademis. Mereka punya pendapat sendiri. Dikenal sebagai dissenting opinion. Jadi harus dibacakan, sebagai bagian tak terpisahkan dari putusan Mahkamah.
Ke-lima Hakim Konstitusi yang menolak permohonan itu ada yang berasal dari Hakim karier dan DPR. Mereka menolak seluruh permohonan karena menganggap permohonan Paslon 1 dan 3 itu tidak terbukti secara hukum. Mengenai bansos misalnya. Menurut Paslon 1 dan 3 sudah dijadikan alat politik untuk memenangkan Prabowo dan Gibran. Menurut mereka, bansos itu tidak ada korelasinya dengan peningkatan suara Prabowo dan Gibran. Mengenai permohonanPaslon 3 agar putra sulung Presiden Jokowi sebagai Wakil Presiden di diskualifikasi sehubungan dengan pelanggaran etika yang dilakukan oleh Ketua KPU, menurut ke-5 Hakim tersebut, pelanggaran etik Ketua KPU tidak dapat dijadikan dasar untuk membatalkan pencalonan Gibran sebagai Wakil Presiden.
Putusan controversial lainnya, yang dihasilkan oleh ke-5 Hakim yang menolak permohonan kedua Paslon itu adalah pernyataan bahwa Mahkamah Konstitusi tak menemukan bukti kalau Presiden Jokowi telah mengintervensi perubahan syarat Capres dan Cawapres.
Menanggapi pendapat ke-5 Hakim yang memotori putusan MK itu, Saldi Isra dalam dissenting opinion-nya antara lain menyinggung asas jujur, sikap patuh dan adil yang dapat kita temukan sebagai norma dalam Pasal 22 E ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang menginginkan suatu keadilan dan kejujuran pemilu yang lebih matriil. Jujur dan adil yang dikehendaki di sini bukan sekedar sikap patuh pada aturan melainkan sikap tidak berlaku curang, tidak berbohong dan tidakmemanipulasi atau memanfaatkan celah hokum pemilu yang ada untuk melakukan tindakan yang secara esensial merupakan praktik curang dalam sebuah kontestasi. Artinya, jujur dan adil dalam Pemilu yang diinginkan Konstitusi adalah mencapai sesuatu yang bersifat hakiki dari arti kejujuran dan keadilan itu sendiri. Menurut Saldi, konsep Pemilu adil atau keadilan Pemilu dapat dimaknai sebagai suatu proses penyelenggaraan pemilu yang tidak saja tidak memihak dan tidak sewenang-wenang, melainkan juga berpegang pada kebenaran dimana setiap pihak yang berkepentingan dengan pemilu menjaga sikap moralnya untuk berpegang pada kebenaran itu. Kebenaran yang dimaksud adalah yang mencakup adanya koherensi antara yang dilakukanpihak-pihak berkepentingan dalam proses Pemilu dengan aturan dan moral kontestasi yang jujur.
Arief Hidayat, menimpali pendapat Saldi Isra itu dalam dissenting opinionnya dengan member penekanan pada perlunya pelaksanaan asas Rule of Law yang harus diiringi dengan asas Rule of Ethic. Kalau perlu, begitu Arief Hidayat yang guru besar dari Universitas Diponegoro itu, sebelum Pemilu 2029 yang akan datang, sudah didirikan Mahkamah lain, selain Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung. Itulah Mahkamah Etik. Mahkamah yang berwenang memeriksa, mengadili dan memutus perkara-perkara pelanggaran etik ! Misalnya, untuk memutus perkara-perkara kecurangan dalam Pemilu. Mereka yang merekayasa hukum, dengan mengorbankan etika!***