Oleh : Dedi Asikin (Wartawan Senior, Pengamat dan Aktivis Sosial)
“MENOLAK permohonan-pemohon secara keseluruhan”.
Itulah kalimat yang diucapkan Ketua MK Suhartoyo disusul palu godam menghantam meja, dor dor dor.
Bagi pemohon, Anies Muhaimin (perkara no.1/2024) maupun Ganjar Mahfud (perkara no.2/2024) kejadian Senin 22 April itu, ibarat palu emas yang diharap, palu godam yang didapat. Apa boleh buat, semua juga tahu, keputusan MK itu tamat dan mengikat (final and binding).
Meski begitu ada manfaat yang didapat dalam sengketa pilpres itu. Ada disenting opinion (beda pendapat).
Tiga dari delapan hakim itu menyatakan dissenting opinion (DO).
Dan mereka bertiga telah melakukan pecah sejarah. DO itu baru pertama kali terjadi dalam pelaksanaan pilpres di Indonesia.
Untuk diingat, permohonan para pemohon itu antara lain, pembatalan SK KPU no 360 tahun 2024 tentang penetapan hasil pilpres, pileg (DPR DPRD) dan DPD 2024 tanggal 20 Maret 2020.
Diskualifikasi paslon norut 02 atau minimal Cawapres Gibran Rakabuming Raka, dan Pemilu ulang.
Permohonan atau gugatan itu terjadi, karena ada dugaan kecurangan dalam proses, pelaksanaan maupun perhitungan suara. Yang mereka gugat adalan, penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu).
Paslon 2 (Prabowo-Gibran) sebagai pihak terkait.