Oleh : Dr KRMT Roy Suryo (Menpora RI ke-11, 2013-2014 KIB ke-II)
JUDUL di atas mungkin terasa aneh dan menggelitik, karena saat ini benar bahwa Tim Garuda Muda Indonesia (alias Pesepakbola U-23 atau dibawah 23 tahun) baru saja secara gemilang mengalahkan Tim Taeguk Warriors tersebut dengan skor Adu pinalti Akhir 11-10 setelah sebelumnya bermain imbang 2-2 meski sudah melalui perpanjangan waktu 2×15 menit. Jadi kata “Final” terasa semakin dekat, meski dalam Semifinal berikutnya harus mengalahkan Pemenang antara Uzbekistan dan Arab Saudi yang akan berlangsung hari ini, Jumat (26/04/24).
Sedangkan kata “mengikat” memang tidak ada hubungannya secara langsung dengan hasil sementara sepakbola Piala Asia U-23 ini, karena kata-kata “Final dan Mengikat” sebenarnya diadopsi dari sifat putusan MK / Mahkamah Konstitusi yang baru saja berlangsung untuk Pemilu 2024 yang baru saja diputuskan kemarin. Namun kata “mengikat” ini justru bisa diartikan secara kias sebagai kalimat “Sepakbola secara de facto telah mengikat Persatuan Indonesia” setelah terjadi “pembelahan” akibat perbedaan pandangan antara pendukung 02 vs pendukung 01 dan 03.
Fakta bahwa Sepakbola berhasil “mengikat” dan mempersatukan Indonesia ini jelas tidak bisa dipungkiri, sebab menurut sejarahnya memang semenjak 94 tahun silam, tepatnya 19/04/30, PSSI dibentuk pertama kali dengan nama awal “Persatuan Sepak Raga Seluruh Indonesia”. Ketua umum pertamanya adalah Soeratin Sosrosoegondo (yang kemudian namanya diabadikan sebagai Nama Piala Sepakbola U-18). Dalam perjalanan keorganisasiannya, PSSI bergabung dengan badan sepak bola dunia FIFA pada th 1952, kemudian dengan badan sepak bola Asia, AFC pada tahun 1954.
Jadi organisasi yang sudah dibentuk 15 tahun sebelum Indonesia merdeka ini memang telah beberapa kali bisa “mengikat” persatuan masyarakat Indonesia, karena dimana ada pertandingan bola disitulah juga masyarakat hadir dan menikmati olahraga. Sebenarnya sejarah olahraga sepak bola sendiri dimulai sejak abad ke-2 dan ke-3 sebelum Masehi di China. Pada masa Dinasti Han, masyarakat China diketahui sudah mengenal permainan menggiring bola kulit dengan menendangnya ke gawang berbentuk jaring kecil. Permainan bola itu disebut dengan Tsu chu.
Sebelum ada PSSI di atas, permainan ini diketahui dibawa oleh Belanda pada zaman penjajahan. Organisasi sepak bola yang pertama kali berdiri di Indonesia adalah Nederland Indische Voetbal Bond (NIVB). Pada masa itu, sepak bola di pulau Jawa hanya dimainkan oleh orang-orang Belanda & masyarakat terpelajar yang memiliki akses. Artinya, sepak bola modern belum menjadi olahraga yang merakyat. Seiring berkembangnya sepak bola di dunia, olahraga itu juga kian berkembang di Indonesia. Tercatat pada 1915, mulai bermunculan klub-klub sepak bola yang digawangi oleh warga Tionghoa di Indonesia. Lalu pada tahun 1920, klub seperti UMS Jakarta & Surabaya berhasil menjadi klub terhebat dalam persepakbolaan Hindia Belanda.
Sedangkan jika sekarang Olimpiade menjadi salah satu target dari Skuat Garuda Muda ini, hal tersebut bukannya tidak mungkin, sebab Tim Garuda sempat berhasil menahan Imbang Timnas Uni Soviet di kancah dunia th 1958. Saat itu Indonesia sempat memberikan kejutan di babak perempat final sepak bola Olimpiade Melbourne 1956. Saat itu Rusli Ramang atau Andi Ramang, Maulwi Saelan, Endang Witarsa, Thio Him Tjiang, dan Ramlan cs merepotkan Uni Soviet yang diperkuat banyak pemain kelas dunia.
Sejarahnya perjuangan para atlet Merah Putih di ajang Olimpiade justru telah dimulai sejak 1952. Tepatnya dalam Olimpiade yang berlangsung di Helsinki, Finlandia. Ketika itu, Indonesia hanya mengirim tiga atlet dari tiga cabang olahraga. Rincinya, angkat besi, atletik, dan renang. Dalam Olimpiade Paris 2024 mendatang Skuat Garuda Muda U-23 tinggal meraih satu kemenangan lagi. Jika mampu memenangkan laga semifinal nanti, Skuat Merah Putih akan lolos ke final sekaligus merebut tiket untuk tampil di Paris 2024. Namun jika kalah di babak semifinal, Timnas Indonesia U-23 juga masih berpeluang tampil di Olimpiade lewat jalur perebutan tempat ketiga.
Dengan demikian sejarah PSSi untuk bisa tampil di kancah dunia memang panjang, belum lagi dulu seringkali mengalami masalah internal di dalamnya. Kondisi terparah adalah saat terjadi perpecahan di dalamnya sehingga sempat ada “PSSI tandingan” bernama Komite Penyelamatan Sepak Bola Indonesia atau KPSI di tahun 2011 dibawah La Nyalla Mattaliti. Saat itu KPSI pro kepada Indonesia Super League (ISL), dan PSSI mendukung Indonesia Premier League (IPL). Alhamdulilah berhasil saya persatukan dengan damai dan pada 2013, Prof Djohar Arifin Hussein (sekarang Anggota DPR-RI) memimpin PSSI dan La Nyalla (sekarang Ketua DPD-RI) menjadi Wakil Ketua Umum dijaman Kabinet Indonesia Bersatu II saat itu.
Saat menjabat di Kabinet pada awal 2013 lalu banyak sekali orang yang meragukan Konflik internal di PSSI tersebut dapat diselesaikan dengan baik, karena perpecahan sebenarnya sudah terjadi bertahun-tahun dan melibatkan banyak Tokoh Politik besar disebaliknya. Apalagi harus diakui saya memang sebelumnya bukan Tokoh Olahraga yang memegang Amanah sebagai RI-45 tersebut. Tetapi sekalilagi tidak ada yang tidak mungkin, dengan pendekatan persuasif yang ada ke semua pihak, konflik dapat terselesaikan dan PSSI kembali bersatu sampai sekarang.
Tapi ironisnya justru saat di Kabinet berikutnya di th 2015, PSSI malah sempat dijatuhi sanksi berupa pembekuan (banned) oleh FIFA pada 30/05/15. Keputusan tersebut akibat intervensi pemerintah (bahasa kerennya sekarang “cawe-cawe”) sebagaimana dimaksud dlm pasal 13 & 17 Statuta FIFA. Sanksi tersebut merupakan buntut konflik antara PSSI dengan pemerintah melalui Kemenpora dibawah Menteri IN saat itu. Jadi ini adalah mimpi terburuk yang pernah dialami PSSI di rezim ini karena Indonesia dilarang mengikuti Kejuaraan Sepakbola mancanegara yang membuatnya kompetisi di dalam negeripun menjadi seperti kehilangan nafas karena tanpa target dan tujuan ke depan.
Oleh karena itu sekarang Asa sudah terbuka dan jalan ke depan terbentang kembali, “Road to Final” di depan mata dan sifat sepakbola sebagai olahraga yang bisa “mengikat” persatuan masyarakat jangan disia-siakan kembali sebagaimana tahun 2011 dan 2015 silam. Sebagaimana pertandingan dini hari tadi, jangan patah semangat, karena bagaikan keputusan MK, Goal pertama yang sempat dibuat Korea Selatan-pun dapat dianulir dengan pantauan VAR (Video Assistant Referee) yang menunjukkan pemain Korsel Eom Ji-sung terjebak offside dan skor kembali 0-0.
Saya sempat merenung, andaikata ada teknologi semacam VAR (atau setidaknya CCTV / Close Circuit Television) yang bisa merekam berbagai issue dibalik Putusan MK tentang PHPU kemarin, misalnya adanya kabar soal “telepon misterius dari invisible hand ke hakim2 MK” atau keterlibatan Ketua MK yang disebut2 terkait BLBI yang membuatnya “tersandera” dsb, mungkin saja Keputusan yang “Final and Bundling” dari MK bisa dianulir bak Wasit semalam, karena sebenarnya Tekniologi seharusnya bisa membantu untuk mengungkap kecurangan atau kejahatan, bukan sebaliknya yang malah digunakan untuk hal2 tersebut seperti SIREKAP.
Kesimpulannya, meski masih ada upaya PDI-P untuk melakukan Gugatan melakui PTUN dan hasilnyapun juga harus dihormati bersama nantinya sebagaimana Putusan MK saat ini, saat ini setidaknya masyarakat Indonesia “diikat” oleh hasil Garuda Muda U-23 dibawah Coach Shin Tae-yong yang menapak asa menuju (Semi) Final. Tentu Doa dan Semangat perlu kita berikan kepada mereka yang telah mengharumkan bangsa kita di mata dunia, bukan malah seperti yang membuat pemberitaan terpuruk akibat adanya Nepotisme dan Cawe-cawe Oknum tertentu seperti yang dimuat media-media massa mainstream mancanegara dan dibahas di Komisi Hak Azasi PBB lalu. AMBYAR.- ***
)” Dr. KRMT Roy Suryo – Pemerhati Telematika, Multimedia, AI & OCB independen, Menteri Pemuda Olahraga ke-11 th 2013-2014, Kabinet Indonesia Bersatu ke-II