Oleh : Dedi Asikin (Wartawan Senior, Pengamat dan Aktivis Sosial)
SESUNGGUHNYA saya sudah suntuk bicarA soal Mahkamah Konstitusi. Sudah banyak saya menulis soal lembaga peradilan yang superbody itu. Sejak Mahkamah Kalkulator, Mahkamah Keranjang sampah, Mahkamah Keluarga sampai Mahkamah Ketololan dan Mahkamah Kedunguan seperti kata Rocky Gerung.
Tapi orang di luar sana masih ramai menggunjingkan soal itu. Terlebih setelah putusan menolak gugatan paslon presiden dan wakil presiden 22 April lalu. Ada yang kecewa dan marah lantaran majlis hakim menolak gugatan paslon 01 dan 03.
Tapi ada juga yang gembira dan sukacita. Lantas berharap harap dapat kesempatan, jabatan dan kekuasaan. Terutama elit elit politik. Berloncatan ke kandang lawan. Semua berkumpul di sana, berlindung di balik dalih demi persatuan dan kesatuan.
Lalu berjoget gemoy, 0ke gesss.
Putusan MK itu memamg misterius.
Terlebih terjadinya perubahan sikap hakim Suhartoyo.
Kalau saja yang mulia ketua MK itu tetap pada sikap waktu menolak putusan 90/PUU/XXI/2023 yang memberi karpet merah kepada Gibran Rakabuming Raka untuk nyalon jadi wakil presiden.
Dalam putusan 22 April itu Suhartoyo ikut dengan 4 hakim yang menolak gugatan. Dalihnya klasik tidak terbukti atau tidak beralasan menurut hukum.
Kalau Suhartoyo ikut dengan 3 hakim yang disenting opinion (Saldi Isra, Enny Nurbaningsih dan Arif Hidayat) putusan pasti memenangkan gugatan. Soalnya sesuai UU MK, suara ketua akan bertambah menjadi dua.
Apa yang terjadi, khususnya tentang prilaku Suhartoyo menimbulkan banyak pertanyaan. Ada apa dengan pria kelahiran Sleman itu.
Ingatan banyak orang kembali kepada peristiwa ketika Suhartoyo mewek termehek mehek. Waktu itu dia baru saja dilantik menjadi ketua MK mengganti Anwar Usman yang dionslah oleh MKMK pimpinan Jimlie Assidiqqi.
Tak jelas itu air mata, mengalir karena terharu atau cuma air mata bayawak, saking gembira diangkat sebagai ketua MK ? Wallahualam alam.
Yang keluar dari mulutnya yang gemetar, katanya dia sedih kerena MK menjadi terpuruk gara-gara kejadian itu (putusan 90).
Seraya ia berjanji akan berusaha memperbaiki citra dan marwah MK.
Tapi dengan putusan 22 April itu Suhartoyo lupa diri, mengingkari janjinya. Yang terjadi citra dan mawah MK, bukannya naik, eh malah makin terjun ke dasar jurang.
Pertanyaan yang tersisa ada apa dengan Suhartoyo?
Ada jawaban remang-remang dan spekulatif. Katanya, mungkin dia diancam atau terikat janji, uang atau jabatan.
Tapi, tiba-tiba ada isu bertiup sepoi.
Katanya (wallahualam) dia tersandera oleh kasus berbau gratifikasi.
Setahun sebelum dia diangkat menjadi hakim konstitusi, Toyo menjadi salah seorang hakim PK di Mahkamah Agung, untuk perkara terpidana kasus BLBI Sudiyono Timan.
Waktu itu Timan sudah divonis 15 tahun. Lalu dalam PK (Peninjauan Kembali) majlis hakim PK memperingan vonis. Dan untuk itu Suhartoyo dan 2 hakim PK lain katanya memperoleh tanda terima kasih dari terpidana Sugiono Timan.
Sebenarnya Komisi Yudisial (KY) sudah meminta agar pelantikan Suhartoyo menjadi hakim MK dibatalkan. Tapi presiden tetap melantiknya.
Ada apa dengan MK dan Suhartoyo ?
Semua itu menjadi misteri yang menutupi antah berantahnya Mahkamah Konstitusi sampai kini.
Yang pasti sebagian masyarakat merasa MK itu menjadi bagian dari penyebab runtuhnya demokrasi dan konstitusi di negeri kita ini.- ***