Oleh Dedi Asikin (Wartawan Senior, Pengamat dan Aktivis Sosial)
PARA pekerja di dunia mulai menggeliat sekitar abad 19. Secara global masalah buruh itu hampir sama, jam kerja tinggi, upah rendah dan perlakuan (dari majikan) tidak manusiawi. Mereka berada dan diperlakukan sebagai manusia dengan kasta terendah.
Tanggal 1 Mei 1886, 400 ribu buruh di Haymarket Square Chicago Amerika Serikat melakukan demonstrasi. Tuntutan utamanya kerja 8 jam sehari. Tapi mereka dihadapi dengan moncong senjata. Ratusan pengunjuk rasa tewas. Para memimpin demo dihukum mati.
Peristiwa itu membangkitkan tak hanya kemarahan kaum pekerja, tapi juga semangat untuk menggalang kekuatan menghadapi para majikan yang telah menciptakan kapitalisme. Menumpuk laba dan kekayaan.
Tahun 1889 kongres sosialis dunia memutuskan peristiwa Chicago 1 Mei 1886 sebagai hari buruh sedunia. Diperingati dan merupakan hari libur.
Gemuruh dan semangat May Day pun mulai menyeruak ke hampir seluruh negara di dunia.
Indonesia baru tahun 1920, meratifikasi 1 Mei sebagai hari buruh dan hari libur. Tentu saja yang dihadapi pemerintah kolonial yang sejak awal memang memperlakukan buruh secara tidak adil.
Di era kemerdekaan nasib pekerja itu tak banyak berubah. Bahkan di rezim orde baru, hari buruh itu cuma diperingati doang, tapi bukan hari libur. Hari libur baru dialami lagi, pasca rezim otoriter itu tumbang.
Buruh itu adalah manusia yang tak pernah kering dari keringat. Bekerja di pabrik atau industri, keringat mengalir, ketika turun ke jalan juga terik matahari membakar tubuh, mengucurkan keringat. Apalagi harus lari berlarian karena diguyur water canon atau gas air mata. Keringat tetap bercucuran.
Padahal cita cita seorang pekerja itu bukan tumpukan uang atau harta. Mereka hanya mencari lembaran rupiah buat memberi makan anak istri. Tak pernah bercita-cita menumpuk harta.
Berbeda dengan majikan atau pengusaha. Mata dan hatinya, hanya berpikir, kapan beli mobil mewah dan rumah bak istana.