Oleh : Dedi Asikin (Wartawan Senior, Pengamat dan Aktivis Sosial)
ADA banyak problematika pendidikan yang kita hadapi. Semisal akses ke sekolah. Di desa-desa dan daerah terpencil, sering kali sekolah berada jauh dari kampung halaman.
Infrastruktur sekolah, mulai dari gedung dan sarana yang belum tersedia.
Bongkar pasang kurikulum. Setiap ganti menteri tunggu saja kurikulum berganti. Kesenjangan antara kurikulum dengan pasar kerja.
Ujian nasional yang belum menyentuh standar yang pas. Dan beberapa macam problems yang menelikung kemajuan dunia pendidikan kita.
Tapi satu hal yang tak kalah penting adalah kualitas guru yang masih rendah.
Logikanya bagaimana seorang guru bisa mentransfer ilmu dengan baik jika kualitas dia sendiri tidak memadai.
Akibat itu sudah dan akan terjadi pergeseran paradigma dan budaya.
Dulu ada peribahasa jawa “guru ratu wingatuo karo”. (guru nomor satu, orang tua nomor loro), belakangan, berubah menjadi “guru teu nyatu, omongannya teu diwaro“.
Atau ada juga yang sedikit beda, “guru nyatu orang tuo kokoro“. Prasa yang terakhir ini muncul ketika, meskipun secara politik bahwa pendidikan sejak SD sampai SMA itu dikasih gratis, tapi pada kenyataanya banyak kreasi pihak sekolah yang mereka reka macam macam pungutan yang kadang memberatkan orang tua. Lantas wong tuo jadi kokoro (miskin).
Kembali ke soal kualitas guru yang rendah. Dari berbagai kajian, itu terjadi selain karena minimnya pelatihan, juga karena rendahnya pendapatan. Tak semua guru berstatus ASN/PNS. Puluhan ribu masih honorer. Secara bertahap diangkat lewat testing yang ketat. Atau sekarang mulai ada yang berstatus Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Itupun masih susah masuknya. Bagai bottle neck atau memasuki lobang jarum. Guru honorer itu gajinya kecil. Bahkan kecil sekali, super minim. Jauh di bawah UMR dan UMK.
Nominalnya tergantung kemampuan sekolah, terutama sekolah swasta. Ada guru yang penghasilannya cuma Rp.600.000 per bulan.
Sehingga seorang guru, kalau di desa merangkap jadi petani, tanam itu ini buat ganjal perut. Yang di kota kadang merangkap jadi tukang ojeg.
Bagaimana guru bisa mengajar dengan baik, jika perutnya keroncongan ?
Bagaimana bisa kerja keras jika di rumah tak ada beras. Sementara cacing di perut tak bisa diajak kompromi.
Ternyata anggaran pendidikan itu tak bisa mengcover pendapatan semua guru dan perangkat pendidikan.
Kata mas menteri (Nadiem Makarim) anggaran pendidikan yang 20% itu yang masuk ke Kemendikbudriset hanya 11% . Sisanya ditransfer ke kementrian yang memiliki pendidikan dinas dan ke daerah.
Presiden terpilih harus tahu problematika dunia pendidikan itu.
Juga harus jadi prinsip, guru harus dididik lebih dulu sebelum memintarkan anak didik.
Juga perut guru jangan dibiarkan keroncongan.
Kalau tidak begitu, wacana mengembangkan pendidikan, akan sia sia. Itu mah cuma omon-omon doang.
Selamat Hardiknas 2 Mei 2024 dengan tema “Bergerak bersama, lanjutkan program merdeka belajar”.- ***