Oleh : Dedi Asikin (Wartawan Senior, Pengamat dan Aktivis Sosial)
KETIKA pemerintah orde baru akan memulai pembangunan negeri dengan program Repelita (Rencana pembangunan lima tahunan), terjadi kendala infrastruktur.
Di pedesaan yang seharusnya menjadi fokus obyek pembangunan, belum ada jalan dan listrik. Dua hal yang amat krusial sebagai infra struktur pembangunan.
Karena itu diambillah kebijakan, pembangunan terpaksa dilakukan di perkotaan. Paling tidak, di pinggiran perkotaan.
Akibatnya penduduk desa yang butuh mata pencaharian, terpaksa pergi ke kota.
Mereka terbawa arus urbanisasi, mencari pekerjaan di pabrik atau industri yang baru dibangun dengan bantuan investasi dari luar.
Lama-lama terjadi kejomplangan struktur kependudukan. Desa nyaris kosong, sementara di kota makin padat dan berjubel.
Menurut data BPS, sekarang ini penduduk yang masih tinggal di pedesaan tinggal 62 %. Idealnya 80 %.
Kata Bapenas, jika tidak dilakukan terobosan dalam hal pengendalian struktur kependudukan, maka pada tahun 2045 pedesaan hanya akan ditempati 34 % saja. 66% akan berada di perkotaan. Tergerus terus oleh urbanisasi.
Sekarang ini banyak orang malas tinggal di desa. Juga nyaris tidak ada anak desa yang mau jadi petani, mengikuti jejak orang tua.
Terjadi masalah sosial yang rumit. Salah satunya kemacetan. Juga masalah mudik yang terpaksa jadi budaya. Para urbanis minimal setahun sekali harus pulang kampung. Dan itu terkadang membuat masalah tersendiri.
Akibat lain produksi desa melorot dan memicu runtuhnya ketahanan pangan. Terpaksa harus impor berbagai komoditas pangan.
Hampir segala kebutuhan pangan kita harus beli dari luar. Beras misalnya, tiap tahun paling sedikit kita impor beras 2 juta ton. Tahun 2024 direncanakan 3,5 juta ton. Ironis memang jika dikaitkan dengan jargon negeri agraris dan maritim.
Masalah desa secara umum berkisar pada berbagai aspek ;
– Desa identik dengan kemiskinan, itu terjadi karena selama 78 tahun merdeka kita alfa membangun desa sebagai tempat domisili penduduk terbesar.
– Penduduk desa tidak terpenuhi hajat hidupnya dari tanah di sekitarnya. Untuk kebutuhan pangan saja, sangat tergantung kepada distribusi dari kota dan berasal dari impor.
– infrastruktur seperti jalan masih belum memadai. Dana desa yang sudah disalurkan hampir 10 tahun ini, masih belum mampu merubah standar hidup masyarakat pedesaan.
– mereka juga kurang atau sulit mendapatkan pelayanan pendidikan dan kesehatan. Juga akses air bersih dan sanitasi.
Kondisi demikian masih terjadi terutama di daerah terpencil di pegunungan pegunungan Papua atau Kalimantan.
Kiat yang dianjurkan adalah, kembali kejati diri negeri, agro maritim. Membangun sektor pertanian dan kelautan.
Luas daratan kita mencapai 1,9 juta km2 dengan perairan 6,6 juta km2. Sesungguhnya sangat memadai untuk memberi kesejahteraan kepada masyarakat desa yang (tahun 2023) berjumlah 83.071 desa.
Anggaran desa yang sekarang mencapai Rp. 70 trilyun per tahun, harus dimanfaatkan sebesar besarnya untuk memacu produktivitas pertanian dan kelautan. Dengan cara itu produktivitas dan ketahanan dapat terwujud (insya allah).
Paradigma dan logikanya, jika penduduk desa sejahtera, maka manufaktur akan berkembang, upah buruh naik, pendapatan pajak naik, APBN longgar, gaji ASN naik.
Itulah makna kesejahteraan dan kemakmuran yang menjadi cita-cita proklamasi kemerdekaan.
Selamat Hari Sosial Desa yang diperingati setiap tanggal 5 Mei.- ***