Oleh : Eka Purwanto
KETIKA pemkot Bandung menutup jalan Braga dan menjadikannya kawasan bebas kendaraan (Braga Beken), saya jadi teringat seorang pengamen jalanan yang populer di jalan Braga waktu itu.
Kerap kali alunan musiknya terganggu oleh bisingnya bunyi knalpot kendaraan yang lewat di depan sang pengamen.
Tiap kali berjalan di sepanjang Jalan Braga Bandung, saya selalu teringat musisi tunanetra yang dikenal sebagai Braga Stone.
Ia bernama Supeno. Ia mahir memainkan lagu-lagu pop dengan kecapi. Supeno memainkan kecapi itu di pojokan jalan Braga, tak jauh dari pintu gerbang kantor Berita Antara.
Keistimewaannya adalah cara dia memainkan kecapi secara unik. Ia mainkan nada-nada diatonik dengan alat musik pentatonik. Tak sembarang orang bisa melakukannya. Karena itu, saat melewati jalan Braga, saya selalu mampir sebentar untuk mendengar lagu yang dimainkan Supeno alias Braga Stone.
Supeno pandai memainkan musik The Beatles dan Rolling Stones. Dari lagu-lagu berbahasa Indonesia hingga lagu-lagu barat, ia mainkan dengan piawai.
Kecapi biasanya dikaitkan dengan lagu-lagu berbahasa Sunda. Tapi di tangan Supeno, alat musik itu bisa mengiringi lagu-lagu pop Indonesia dan Barat.
Meskipun tunanetra sejak lahir, dia adalah salah satu yang pertama berhasil meniti karier profesional dalam dunia musik. Keterampilannya dalam memetik kecapi dan meniup harmonika membuatnya sering diundang untuk tampil bersama dengan kelompok musik terkenal seperti Bimbo.
Pada tahun 1970-an, dia bahkan telah mengunjungi luar negeri sebagai perwakilan dari para pemusik Indonesia dalam ajang internasional.
Selain di jalan Braga, saya juga sering melihat Braga Stone tampil di panggung-panggung musik di Bandung, baik secara solo maupun bersama musisi lainnya. Nama Braga Stone populer hingga sekitar tahun 1980-an. Kabarnya, Braga Stone bahkan sempat merilis beberapa album instrumen dengan permainan kecapinya.
Braga Stone memang kerap manggung di mana-mana, tak hanya di jalan Braga. Karena itu, secara tidak langsung aksinya di jalan Braga telah mempopulerkan nama jalan Braga itu sendiri yang hanya ada di Bandung.
Braga Stone terampil memainkan kecapi, meskipun alat musik ini hanya memiliki 5 nada, membuatnya sulit untuk memainkan lagu-lagu barat. Namun, Braga Stone menghadirkan sesuatu yang unik dengan memainkan kecapi seiring dengan harmonika. Keterampilan ini menjadi ciri khasnya.
Meskipun nama aslinya adalah Supeno, namun seiring waktu, dia lebih dikenal dengan nama Braga Stone. Ini karena awalnya dia sering bermain musik di Jalan Braga, dan lagu-lagu yang sering dia mainkan adalah dari The Rolling Stones.
Perubahan nama ini mencerminkan identitas barunya sebagai musisi jalanan yang dikenal luas.
Setelah menjadi seorang musisi profesional, Braga Stone tak melupakan akar-akarnya. Sebagian besar waktu dan upayanya dia arahkan untuk membantu perkembangan musik bagi anak-anak tunanetra.
Dia juga memberikan kontribusi di bidang pendidikan seni, mengajarkan teknik memetik kecapi kepada siswa di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) di Bandung.
Sejak lama, Jalan Braga memang menjadi daya tarik bagi wisatawan, baik dari dalam negeri maupun luar negeri.
Bagi saya, Jalan Braga bukan sekadar sebuah jalanan biasa, tetapi juga memiliki makna yang khusus, terutama saat mengingat penampilan musisi seperti Braga Stone dengan kecapinya.
Supeno kini sudah tiada. Lagu-lagu Beatles dan Rolling Stone pun tak terdengar lagi dari petikan kecapi di Jalan Braga.
Andai di Braga Beken (bebas kendaraan) ada Braga Stone, mungkin saya kerap ke sana menikmati alunan nada diatonik dengan alat musik pentatonik, tanpa harus terganggu suara knalpot bising yang keluar dari moncong motor butut.- ***