Oleh : Dedi Asikin (Wartawan Senior, Pengamat dan Aktivis Sosial)
KONSEKWENSI dari politik rangkul-rangkulan ala Prabowo Subianto, lahirlah program penambahan jumlah kementerian pada kebinet Pragib.
Katanya jumlah kementerian akan ditambah menjadi 39 atau 40.
Tak hanya harus merubah nomen klatur, penambahan jumlah itu harus merubah UU kementerian yang sudah mematok jumlah 34.
Perubahan itu bisa melalui revisi UU, Judicial Review ke MK, atau dengan Perpres. Tapi semuanya bukan perkara gampang. Bukan “sim salabim, abrakadabra”, atau semudah membalik telapak tangan. Semuanya nyaris terbentur waktu. Presiden terpilih harus dilantik 20 Oktober.
Merubah UU itu melibatkan 560 anggota Dewan, yang bisa bertele tele. Pun demikian dengan Judicial Review. Apalagi MK sekarang lagi sibuk menangani sengketa pileg.
Dengan Perprespun demikian. Itu harus dilakukan presiden Jokowi. Resikonya usai teken Perpres Presiden harus resafel kabinet sesuai nomenklatur baru, hanya untuk waktu sekitar 3 atau 4 bulan saja, apaan tuh.
Kalau presiden baru yang teken, masa iya baru dilantik ujug-ujug bikin Perpres ? Apa kata dunia ?
Lalu bagaimana drama bagi-bagi dan rebutan kursi itu berlangsung ?
Katanya Golkar meminta jatah 5 plus satu menko. Lalu PAN 4, Demokrat 3, PBB 1, Gelora 1, dan PSI 1.
Lalu jendral jendral yang tiba-tiba datang mendukung, seperti Wiranto, Agum Gumelar Hendropriyono dan lain-lain.
Kabarnya Jokowi juga minta jatah Menteri antara lain untuk Pratikno dan Budi Gunawan. Jokowi berkepentingan dengan BG untuk mediator bertemu dengan Megawati.
Jokowi tahu persis BG sangat deket dengan Mega, karena pernah menjadi ajudan ketika Mega jadi Presiden.
Setelah itu Pragib juga harus menyediakan kursi untuk partai lawan di pilpres lalu. Ada Nasdem, PKB, Perindo, PPP dan Hanura. Lalu ada PKS.
Ada yang menarik tentang PKS itu. Mungkin sudah lelah 10 tahun jadi oposisi, PKS sebenarnya sudah hendak masuk. Mereka sudah mengundang dan ampar karpet merah buat Prabowo pada acara silaturahmi partai. Tapi ternyata Prabowo tidak nongol. Ada cerita selain dihalangi Gelora, Prabowo juga merasa PKS yang dulu mendukung Prabowo (2014 dan 2019) adalah PKS yang dipimpin Anies Matta. Sekarang Anies Matta dan Fachri Hamzah sudah bikin partai Gelora dan sudah bergabung di KIM.
Lagi pula PKS itu kontra pula dengan Jokowi. Pasalnya PKS pernah membentang spanduk raksasa bertuliskan “PKS menolak pindah IKN”. Tentu saja Prabowo takut sama Jokowi, makanya tidak datang di undangan PKS.
Lalu ada Perindo. Kabarnya Hary Tanu sudah kontak orang-orang Prabowo minta dibukakan pintu masuk. Tapi belum ada respon Prabowo.
Sebenarnya Perindo itu terjebak mendukung Ganjar Pranowo. Sejatinya dia itu taqlid kepada Jokowi. Apapun langkah dan kebijakan Jokowi selalu dibilang baik oleh HTS. Waktu itu yang dia tahu Jokowi mendukung Ganjar sehingga dia dan Perindonya masuk ke kandang banteng. Ternyata Jokowi meblecot dari kandang dan terbang bersama burung Garuda (KIM) sorangan wae.
Kasian deh Hary Tanu yang Sudibyo.
Lalu bagaimana dengan PDIP ? Selama ini banyak banteng yang ketaton. Mereka ngamuk karena merasa dihianati Jokowi.
PDIP khususnya Megawati merasa dengan Jokowi itu ibarat melihara anak anjing yang kurus, sudah besar eh menggigit induk semang.
Para kader PDIP itu, umumnya menolak bergabung dengan Pragib.
Sebenarnya, kata Adian Napitupulu, tidak ada soal dengan Prabowo. Yang jadi musuh PDIP adalah Jokowi dan Gibran Rakabuming Raka. Titik habis.
Tapi sikap PDIP dan bunda Mega akan diputuskan dalam rakernas akhir Mei nanti. Wait and see saja.
Bagaimana jadinya pemerintahan yang bulat seperti bola bekles yang dimaui Prabowo lewat politik rangkul-rangkulan itu.- ***