Oleh : Dedi Asikin (Wartawan Senior, Pengamat dan Aktivis Sosial)
MINGGU kemarin beberapa teman liputan Kementerian Agama mengikuti workshop bertajuk “peningkatan peran jurnalistik dalam moderasi beragama”. Penyelenggaranya Kementerian Agama provinsi Jawa Barat.
Ada himbauan agar media (artikan para wartawan) ikut aktif dalam menciptakan moderasi beragama. Moderasi itu serapan dari kata moderat. Dalam KBBI kata moderat itu adalah ungkapan dan prilaku seseorang yang tidak ekstrem dalam dimensi mengambil jalan tengah. Kata orang Sunda; “sineger tengah”.
Indonesia ini bangsa yang plural, yang beragam. Dan itu takdir. Tuhan telah mengisi 17.349 pulau di nusantara ini 270 juta orang terdiri dari 1.340 suku bangsa, 718 bahasa berbagai budaya dan agama.
Secara kelembagaan negara ini termasuk sekuler. Tapi bukan sekuler murni. Negara (Indonesia), masih terlibat dengan urusan keagamaan. Jika ada konflik inter atau antar agama, negara pasti turun. Negara juga ikut mengatur hal-hal kecil semisal penetapan hari lebaran dan lain-lain.
Tidak salah, sebab sesungguhnya di dalam UUD 1945 (pasal 29 ayat 1) disebutkan, negara dibentuk berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa. Karena itulah negara turun, cawe cawe dalam urusan uchrowi. Tak hanya urusan negara semata. Berbeda dengan Amerika misalnya. Di negeri paman syam itu, negara tidak urus urusan agama. Soal masjid, gereja atau vihara, uruslah oleh kalian sendiri.
Uniknya sekulerisme di Indonesia juga tergambar adanya kementerian khusus yang mengurus cawe cawe negara tehadap masalah agama. Namanya Kementerian Agama.
Dan itu sudah jadi komitmen, 6 bulan sejak proklamasi kemerdekaan. (Kemenag berdiri 3 Januari 1946).
Pemerintah juga sudah membingkai aktivitas moderasi agama dengan PP 58 tahun 2023 tentang penguatan moderasi agama.
Keberagaman itu menyebabkan sering timbul konflik dalam inter dan antar agama. Apalagi pada masing-masing agama ada mazhab, aliran atau juga sekte.
Kementerian Agama juga sudah mengurus soal keanekaragaman itu, dengan program pembinaan kerukunan ummat beragama.
Moderasi beragama sendiri dicetuskan oleh Lukman Hakim Syaifuddin saat jadi menteri agama (2014-2019).
Secara naruliah, kasus-kasus pertikaian inter atau antar agama memang memiliki nilai berita, menarik minat wartawan untuk memberitakan.
Ajakan Kementerian Agama kepada insan jurnalistik untuk terlibat membangun moderasi (toleransi) beragama itu menarik untuk disikapi.
Workshop itu harus menjadi entry point, pintu masuk terwujudnya sinegeritas, kerjasama, kemitraan pers dengan pemerintah. Kedua lembaga itu merupakan pilar penyelenggaraan negara yang diberikan oleh rakyat untuk mengurus negara dengan sebaik baiknya.
Kemitraan itu wujud dari kesepahaman bahwa Pers dan Pemerintah harus dibingkai dengan prasa; “bersama untuk kesatuan, bersatu untuk kebersamaan”. Kedua pihak harus terbuka tangan dan hati. Kata bung Karno; “rambati rata, rawe rawe rantas, malang malang putung”. Kebijakan yang mengada-ngada misalnya menempatkan pelayanan kepada wartawan melalui kebijakan pelayanan satu pintu, harus dihentikan. Hak publik untuk mendapatkan pelayanan berbeda UU dengan hak wartawan untuk memperoleh informasi. Hak publik itu dilayani berdasarkan UU Pelayanan Publik ( No.25 tahun 2009) sedang pelayanan kepada wartawan lebih ditekankan kepada UU Pers (No.40 tahun 1999).
Berikan hak kepada semua pejabat untuk memberi informasi kepada awak media, supaya informasi itu cepat tersampaikan kepada khalayak. Pada prinsipnya seorang pejabat sudah dianggap cukup cakap untuk memegang sebuah jabatan. Apa lagi kini ada instrumen assesment dan Posbidding untuk menjaring kualitas mereka. Harap maklum prinsip kerja jurnalistik itu, kecepatan atau actuality.
Di balik itu, wartawan juga menganggap birokrat itu sebagai narasumber utama. Karenanya jangan lari kalau wartawan mencari.
Kemitraan adalah sebuah keniscayaan.- ***