Oleh : Dr. KRMT Roy Suryo (Pemerhati Telematika, Multimedia, AI & OCB Independen – Mantan Anggota Komisi-1 2009-2019 dan Badan Legislasi DPR-RI 2016-2017)
INTI Judul di atas sebenarnya sudah saya singgung dalam tulisan sebelumnya kemarin (“JURNALISTIK MAU DIBUNGKAM, PAKAR & MASYARAKAT DIAM ?”) Namun mungkin karena ditempatkan di Paragraf tengah-tengah Artikel, banyak yang terlewat atau karena lebih concern ke Judul tab? Karena memang sekarang ini aneh, banyak sekali upaya perubahan-perubahan aturan “diselundupkan” demi kepentingan Rezim memperpanjang kekuasaannya. Mulai dari Pembahasan Revisi UU MK yang dilakukan di tengah-tengah masa reses, Perpanjangan Usia Pensiun Aparat, Kebingungan mencari posisi setelah lengser, Hingga Revisi UU Penyiaran yang sebenarnya sangat tidak perlu & tidak bermutu ini.
Namun memang Rezim ini lihay (licik ?) dalam menggunakan Pat gulipat alias Cipta kondisi guna mengantisipasi resistensi. Mahasiswa disibukkan dengan Kenaikan UKT (Uang Kuliah Tunggal) yang fantastis, untuk tidak menyebutnya Gila-gilaan tanpa ada standar baku yang jelas antar kampusnya. Khusus soal Kenaikan UKT ini menjadi sangat ironis, sebab dimana habisnya alokasi Dana Pendidikan yang 20% dari APBN selama ini? Kalaupun dikatakan untuk Kuliah / Jadi Mahasiswa bukan termasuk tanggungjawab Pemerintah menyekolahkan 12th Pendidikan Dasar, tentu kalau Pikiran yang Waras akan lebih memprioritaskan Pendidikan setinggi-tingginya untuk Anak Bangsa tersebut dibanding menghambur-hamburkan Program Absurd Makan siang Gratis yang jelas-jelas memboroskan anggaran 450 Trilyun dan akan sangat potensial bocor alias terjadi penyalahgunaan Uang Rakyat itu.
Kalau saja Bapak Pendidikan kita, Alm Ki Hajar Dewantara masih ada, tentu Beliau akan gemas dan sekaligus menitikkan Air mata melihat kondisi yang sangat acak adut alias carut marut ini, apalagi belum genap tiga minggu kita memperingati Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei yang mengabadikan Hari Kelahiran Beliau 135th silam (1889) tersebut. Tidak perlu menunggu sampai tahun 2045, jika masih Waras pasti juga semua sepakat bahwa Indonesia akan Gemas, atau malah Lemas di Peringatan 100 tahun Usia Kemerdekaan tersebut kalau melihat kondisi sekarang dibiarkan terus-terusan begini.
Jadi inilah sebenarnya yang termasuk dalam teori Cipta kondisi dalam ilmu kontra intelijen, dimana Mahasiswa disibukkan dengan urusannya sendiri sehingga tidak ada kepedulian lagi untuk mencermati, kurang peka dan tidak cerdas lagi dalam melihat Realitas yang ada. Disaat inilah akan banyak sekali Aturan negeri ini yang sebenarnya sudah disusun sangat baik Pasca Reformasi 1998 silam -yang saat itu masih murni untuk membongkar praktek Kolusi, Korupsi dan Nepotisme era Orde Baru- kini mayoritas dihancurkan semuanya dan mau dikembalikan lagi, bahkan menurut sebagian Pakar “Jauh lebih Orba dibanding Orba (?)”
Bahkan sekarang mulai digulirkan istilah “Pendidikan Tinggi adalah Kebutuhan Tersier, bukan Sekunder apalagi Primer”. Dengan kata lain, Upaya Negara untuk mencerdaskan Bangsa sudah mau seperti mau dibuang jauh ke laut. Rakyat menjadi seperti dilarang menjadi Pintar untuk belajar, Bahkan dikhawatirkan besok-besoknya soal Kelulusan dari Sekolah atau Pendidikan yang Tinggi, termasuk memliki Ijazah Asli, bisa besar kemungkinan bukan lagi hal yang penting di negeri ini. Faktanya sampai-sampai diperlukan sidang di Pengadilan untuk memastikan keaslian sebuah Ijazah dan itupun tidak ada kejelasan sampai kini karena proses persidangannya memutar-mutar, padahal itu bukan Komidi Putar.
Kekhawatiran Para Akademisi dan Civitas Akademika mayoritas Kampus yang sekali lagi masih waras alias belum terkooptasi apalagi ternodai meski beberapa konon sudah diintimidasi layak menjadi pertimbangan bangsa ini kedepan. Wajar mereka cemas akan kondisi Republik yang hampir berusia 79th Agustus besok, karena sekarang soal Etika dan Kejujuran tampak semakin jauh dari kehidupan sehari-hari. Lihat saja Putusan MKMK dan DKPP soal Etika, semuanya seperti dianggap angin lalu saja tanpa ada Sanksi yang benar-benar riil dijatuhkan. Sampai ada istilah “Sanksi Terakhir” yang sudah 3x (tiga kali) dijatuhkan tanpa ada batasnya, bahkan dalam pemberitaan terakhir Oknum tersebut dilaporkan juga masalah susila, bukan hanya soal Etika saja.
Inilah juga yang terjadi pada RUU Penyiaran hasil Harmonisasi BaLeg/Badan Legislasi DPR tertanggal 27 Maret 2024 kemarin, dimana Naskah yang terdiri dari 6 Bab dan 63 (tepatnya 62A) Pasal tersebut memang banyak sekali mengandung “penyelundupan” Hal-hal yang dulu di era Reformasi sudah dihapus/dihilangkan, sekarang malahan dihidupkan/diaktifkan kembali. Secara detail hal-hal dalam RUU Penyiaran yang disinyalir ada Penyelundupan Pasal tersebut adalah: (1). Pasal 42 ayat 2 (tumpang tindih dengan UU Pers No 40/1999) karena di RUU ini berbunyi “Penyelesaian sengketa terkait dengan kegiatan jurnalistik Penyiaran dilakukan oleh KPI sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Kemudian (2). Pasal 50 B ayat 2 huruf (c) (melarang adanya penyiaran eksklusif jurnalistik investigasi) yang berbunyi “Selain memuat panduan kelayakan Isi Siaran dan Konten Siaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), SIS memuat larangan mengenai:dst (c.) Penayangan eksklusif jurnalistik investigasi”. Selanjutnya, (3). Pasal 50B ayat 2 huruf k (larangan konten siaran yang mengandung penghinaan & pencemaran nama baik, padahal sudah ada di UU ITE) “Penayangan Isi Siaran dan Konten Siaran yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan, pencemaran nama baik, penodaan agama, kekerasan, dan radikalisme-terorisme.”.
Terakhir: (4). Pasal 51 huruf E (Penyelesaian sengketa jurnalistik dilakukan di pengadilan, tumpang tindih lagi dengan UU Pers No 40/1999) “Sengketa yang timbul akibat dikeluarkannya keputusan KPI dapat diselesaikan melalui pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Sebenarnya masih ada juga beberapa hal kecil lainnya, namun 4 hal di atas yang sangat mencolok dan terasa benar “penyelundupannya” bahkan menabrak UU Pers No. 40/1999 dan UU ITE No 01/2024 (Revisi dari UU No 08/2008 dan No 19/2016).
At last but not least, semua ini pasti ada maksud besar yang akan dilakukan dan ujung-ujungnya Rakyatlah juga yang akan jadi Korbannya, sebagaimana RUU Cilaka yang tetap disahkan menjadi UU Ciptaker waktu itu. Meski sejak awal mula sudah ditolak karena banyak menabrak Aturan-aturan sebelumnya, tetap saja disahkan dan kini banyak bermasalah. Mirip UU IKN yang hanya disahkan oleh Kehadiran Fisik 80-an Anggota DPR-Ri (dari seharusnya total 575, meski dengan alasan COVID dilakukan secara “online”) namun besok dikhawatirkan juga akan banyak bermasalah. Jadi Apa guna DPR-RI kalau malah bisa diibaratkan hanya menjadi “Dewan Penyusah Rakyat” begini ? Istighfar ! -***