Oleh : Dedi Asikin (Wartawan Senior, Pengamat dan Aktivis Sosial)
TEMAN saya sesama pensiunan beri komentar atas tulisan saya kemarin “Dede Yusuf tak mau Moro Julang , ngaleupaskeun peusing”
Teman itu mengunggah peribahasa yang hampir semakna dengan “moro julang ngaleupaskeun peusing” Katanya dalam bahasa Jawa (Timur) ada ungkapan “Mburu uceng, kelangan deleg”. Uceng itu ikan kecil sebangsa belut, sedang deleg adalah anak ikan gabus.
Untuk perbandingan dengan ungkapan saya kemarin, julang itu burung enggang (heulang ?), sedang peusing itu trenggiling.
Jadi maknanya sama dan serupa, kira kira berarti; mencari yang sulit, belum tentu didapat, melepas yang sudah ada di tangan.
Pak Kwiek begitu biasa saya panggil dia (itu panggilan akrab/ bukan nama sebenarnya ) mengomentari pilihan Dede Yusuf yang melepaskan dukungan partai (Demokrat) untuk nyalon gubernur Jawa Barat. Dia (Dede), kata pak Kwiek, lebih memilih tetap jadi anggota DPR yang sudah dimenangkannya dalam pileg yang lalu.
Katanya lantaran anggota DPR itu punya pensiun lumayan besar dan seumur hidup. Gaji dan berbagai tunjangan bisa lebih dari Rp.100 juta.
Sementara jabatan gubernur harus diperebutkan lewat pilkada 27 nopember (2024) nanti. Belum tentu menang.
Jangan sampai lepas dua duanya. Rugi bandar jadinya.
Kata Pak Kwiek, mburu uceng kelangan deleg.
Beberapa teman saya, biasa di grup diskusi (warung kopi) ngadu bako, memperbincangkan tentang AHY. Apakah dia mendapat pensiun sebagai Menteri (ATR/Kepala BPN), yang dijabatnya cuman sekitar 7 bulan ?
Perihal pensiun menteri itu sudah diatur mulai PP 50 tahun 1980. PP itu sudah beberapa kali dirubah terahir dengan PP No.60 tahun 2000 tentang hak keuangan/administratif menteri dan bekas menteri serta janda dan dudanya. Besaran (nominal)nya, diatur dengan Kepres,
Dalam Kepres no.59 tahun 2001 pensiun menteri diatur 1% dari gaji bulanan minimal 6 %. Artinya menteri yang bertugas minimal selama 6 bulan bisa mendapat hak pensiun, antara 6 sampai 75% dari gaji bulanan.
Jadi AHY sangat mungkin mendapat pensiun menteri.
Kecuali dulu Arcanza (Menteri ESDM) yang hanya menjabat setengah bulan, mungkin tidak mendapat. Masalahnya, seperti kata pejabat Taspen Holomoan, pensiun itu berdasarkan iuran ketika sedang menjabat (ASN atau pejabat negara). Mungkin iuran Arcanda belum terpotong atau belum distor ke Taspen. Kasus Arcanda itu maltunjuk presiden Jokowi. Dia itu masih warga negara Amrik waktu ditunjuk mas Wiwi jadi menteri ESDM. Weleh weleh kok bisa ya.
Gaji menteri menurut kepres 59/2001 adalah Rp.5.040.000 per bulan. Menteri juga dapat tunjangan yang rata-rata Rp.13.608.000.
Selain itu menteri dan pejabat setingkat mendapat fasilitas jabatan seperti mobil lumayan wah, rumah yang lumayan representatif dan SPJ. Juga DOM (Dana Operasional Menteri), yang nominalnya di atas Rp.100 juta.
Wah wah wah !
Enak tuh jadi pak mantri, eh pak Menteri. Padahal cuma jongos (besar) doang.
Rasa-rasanya gaji anggota DPR pun hampir sama, kalau beda juga, beti, beda tipis.
Gaji pokok Gubernur malah lebih kecil, hanya sekitar Rp3 juta.
Tetapi ada beberapa orang yang lebih memilih jadi gubernur.
Khofifah Indarparawansa misalnya. Dia amit mundur sebagai menteri Sosial untuk menjabat gubernur Jatim. Katanya pula Muhaimin Iskandar akan nyagub di Jatim.
Cak Imin mungkin sudah bosan jadi menteri dan beberapa kali jadi pimpinan DPR.
Gubernur itu raja meskipun raja kecil. Punya super kuasa.
Dia bisa membentak bawahan. Sementara menteri cuma jongos (besar). Tak boleh membentak boss.
Kata abah Asup (juga teman pensiunan) “lebih baik jadi kepala kucing, dari pada ekor gajah ”
Giliran para politisi (jangan bilang politikus ), pilih kelir acak corak.
Sedang ada obral jabatan nih.- ***