Oleh : Dedi Asikin (Wartawan Senior, Pengamat dan Aktivis Sosial)
KEMARIN saya melihat photo bendung/irigasi Padawaras yang diposting Syamsul Maarif pensiunan wartawan Pikiran Rakyat.
Kesan saya, pertama tentu saja “waas”.
Masalahnya atas proyek jumbo itu saya punya keterlibatan, mulai pikiran sampai ikut pada tahap pembuatan.
Sekitar tahun 1975, sebagai wartawan, saya bersama wartawan lain di Tasikmalaya, sebut saja, Ujang Rusamsi (Pikiran Rakyat, Edi Padma, (Sinar Harapan), Hafid Saiji , (Gala), Syamsul Arifin (Bandung Pos), rame rame memberitakan kencangnya aspirasi masyarakat selatan.
Mereka menginginkan adanya irigasi di selatan kabupaten itu.
Soalnya selama ini sawah mereka berstatus tadah hujan. Hanya bisa ditanami sekali dalam setahun. Tergantung pada keberadaan hujan.
Alhamdulilah berkat pemberitaan di Mass media itu, hati bupati Husen Wangsaatmaja tersentuh juga.
Maka dibuatlah rencana pembangunan bendung itu. Potensi air sungai Cilangla dan Cijalu dipersatukan. Rencananya air kedua sungai itu akan mengairi 6 ribu hektar sawah di kecamatan Bantarkalong dan Cipatujah.
Yang membulat saya merasa terlibat dalam proyek itu, antara lain saya dan kang Edi Padma, pernah diajak bupati Husen ke Jakarta. Tak lain dan tak bukan untuk menemui Dirjen pengairan, Suratin, dalam urusan proyek irigasi itu.
Saya memang memiliki hubungan yang sangat dekat dengan bupati yang kolonel itu.
Kalau beliau ada acara ke daerah kami suka diajak. Bahkan kami suka dijemput supirnya pak Syarif. Eh, ndilallah pak Syarif itu kemudian ditakdirkan menjadi besan. Putranya Maman, menikah dengan keponakan saya.
Saya juga dekat dengan ayahnya pak Syarif. Namanya pak Atma. Beliau itu pertugas rumah tangga bupati. Tersanjungnya saya, beliau itu suka memanggil saya juragan, panggilan untuk pejabat priyayi yang masih feodal.
Kalau ada acara di pendopo beliau dengan sangat hormat selalu menawari makan :
“Juragan Dedi, parantos tuang ?”.
Soal bendung Padawaras itu sesungguhnya belakangan ini saya sedang gundah. Pasalnya dikabarkan Padawaras itu sedang tidak waras.
Katanya di kecamatan Cipatujah saja tahun 2023 ada 600 hektar sawah yang gagal panen. Pasalnya banyak saluran air yang rusak. Ada yang jebol atau tertimbun longsoran. Pemerintah dalam hal UPT PSDA (Unit Pelaksana Teknik Dinas Pelayanan Sumber Daya Air) Ciwulan dan Cilaki, dianggap terlambat menangani kerusakan itu.
Tapi pejabat UPT PSDA Ciwulan dan Cilaki Hengki Suseno berkilah, tahun 2023 PSDA tidak mendapatkan anggaran untuk itu. Zero anggaran.
Jalan keluarnya digunakan Dana Alokasi Khusus (DAK) dari pusat yang tahun 2023 turun Rp.17 miliar. Lalu tahun 2024 rencananya akan turun lagi Rp. 20 milyar.
Kata Hengki, dana itu tidak mencukupi mengcover seluruh kebutuhan. Pihaknya, kata Hengki, mengajukan anggaran Rp.40 milyar.
Dana segitu mungkin hanya pas untuk perbaikan saluran saja, belum mengcover perbaikan bangunan saluran, bangunan pintu air dan bangunan sadap.
Saya (penulis) memamg layak bergulana dengan keadaan itu. Pertama memang saya budah laut. Orang turki (turunan kidul) asli. Kedua saya termasuk dalam jajaran aktivis pembentukan kabupaten Tasikmalaya Selatan.
Saya didapuk teman-teman jadi ketua Dewan Penasihat Presidium (semacam panitia) Tasik Selatan (Tasela). Jadi niscaya merasa berkepentingan dengan bendung Padawaras itu.
Terimakasih adiku Syamsul Maarif yang telah menyadarkan hal itu.
Padawaras memang lagi teu waras.- ***