Oleh : Dedi Asikin (Wartawan Senior, Pengamat dan Aktivis Sosial)
ADA konotasi kurang enak dari prasa Haji Singapur. Panggilan berbau merendahkan. Bahkan mempermalukan.
Itu cerita zaman dulu, zaman haji naik kapal layar, menderita tiada tara. Mereka berangkat cuma sampai Themasek (nama Singapur zaman dulu). Pulang lagi dengan kepala dibalut topi putih. Dan dipanggil pak haji.
Tapi saya punya cerita tentang haji Singapur.
Tahun 1973, saya ditugaskan ikut kursus (pelatihan) perburuhan di Pulau Penang Malaysia. Waktu itu saya sedang menjabat Sekretaris Umum Serikat Sekerja PTT (SSPTT) Jawa Barat yang wilayah kerjanya mencakup Kalimantan Barat.
Pelatihan itu sendiri diselenggarakan Serikat Sekerja PTT Internasional (PTTI) bekerjasama dengan Frederick Ebert Stiftung dari Jerman Barat.
Sebelum langsung ke Penang mampir dulu di Singapur diminta nyamper teman dari SSPTT Singapur.
Setelah bersusah payah ketemu juga tuh tempat tinggalnya, di tingkat 23 sebuah apartemen.
Namanya Akiak H. Yasin. Dia bekerja di General Post Office Singapur dan menjabat Sekjen SSPTT di sana.
Dalam perjalanan naik bis ke Penang, dia bercerita. Dia itu keturunan Indonesia. Kakeknya H. Yasin berasal dari sebuah kampung di Kabupaten Semarang Jawa Tengah.
Sekira tahun 1920 pemuda Yasin berangkat naik haji ke baitullah.
Dari Semarang naik kapal layar menuju Aceh. Di sana berkumpul calhaj dari berbagai daerah. Ketika kapal dagang yang menuju Guzarat India, mereka numpang. Bergeletakan di dek. Perjalanan yang berat dengan terpaan angin kencang membuat banyak yang jatuh sakit. Selain itu kadang terjadi kapal diserang perompak. Banyak bekal dan bawaan jemaah yang dirampas.
Nah nasib naas menimpa pula kepada calhaj Yasin. Setelah perbekalannya habis dirompak, dia juga jatuh sakit. Terpaksalah dia turun di Themasek.
Mula-mula dia bekerja di perkebunan karet. Tapi kemudian beralih menjadi petani sayuran.
Setelah punya bekal ia meneruskan niatnya ibadah haji. Tapi dia tidak pulang ke Indonesia melainkan ke Singapur. Menikah dengan perempuan melayu asal Bukittinggi dan beranak pinak di sana.
Menurut Akiak, di Semarang masih sekeluarga dan kerabat jauh. Dia juga mengaku, bersama kakeknya pernah datang ke tanah leluhurnya itu, dan bertemu dengan kerabat kakeknya.
Kini sang kakek haji (Singapur) Yasin sudah berpulang.
Dan sayapun kehilangan kontak dengan Akiak , teman sesama aktivis buruh itu.- ***