Oleh : Dedi Asikin (Wartawan Senior, Pengamat dan Aktivis Sosial)
AGAK sulit memastikan siapa orang Indonesia yang pertama menunaikan ibadah haji.
Tapi dari penelusuran sejarawan Dadan Wildan Anas (PR 17 Januari 2006) yang hampir pasti adalah Bratalegawa.
Dia adalah putra prabu Guru atau prabu Bunisora, pemangku jabatan atau wali nagara kerajaan Galuh, karena kakaknya Prabu Maharaja gugur dalam perang Bubat, (1357).
Sementara putra mahkota Niskala Linggawastu baru berusia 10 tahun. Bratalegawa juga diperkirakan orang Galuh pertama yang pindah agama dari Hindu ke Islam.
Sebagai saudagar, Bratalegawa sering mondar mandir ke Sumatra, China, India, Srilanka, Iran bahkan sampai Arab.
Dia mendapat jodoh seorang gadis dari Guzarat (India) yang beragama Islam bernama Farhana binti Muhammad.
Diduga karena pernikahan itulah Bratalegawa masuk Islam.
Setelah menunaikan ibadah (1357) bersama isterinya, ia pulang ke Galuh. Pertama ditemui adiknya Ratu Banawati. Selain bersilahturahmi, juga mengajak adiknya masuk Islam, tetapi sang adik menolak.
Dari Galuh, Bratalegawa yang kemudian dikenal dengan nama haji Purwa, pergi ke Cirebon menemui kakaknya Giridewa atau Ki Gedeng Kasmaya yang menjadi penguasa kerajaan Cirebon Girang.
Ketika diajak masuk Islam sang kakak juga menolak.
Dalam cerita Parahiangan serta wawacan Sunan Gunung Jati dan Babad Cirebon diketahui bebarapa nama yang sekitaran abad 14 sampai 17, menunaikan ibadah haji setelah Bratalegawa.
Antara lain ada Walangsungsang bersama adiknya Rarasantang. Mereka adalah putra Prabu Siliwangi, raja Pajajaran. Mereka berangkat tahun 1446 atau satu abad setelah Bratalegawa.
Dalam perjalanan ibadah haji itu, Rarasantang dinikahi Syech Syarif Abdullah, sultan Mesir dari dinasti Fatimiyah.
Rarasantang kemudian berganti nama menjadi Hajah Syarifah Mudaim.
Dari kerajaan Banten yang pertama berangkat naik haji adalah Abdul Kahar putra sultan Ageng Tirtayasa. Selain menunaikan ibadah haji Abdul Kahar juga diutus ayahanda untuk menemui sultan Mekah dan terus berkunjung ke Turki. Sepulang ke tanah air sultan Abdul Kahar lebih dikenal dengan nama sultan Haji.
Selanjutnya sultan Ageng Tirtayasa mengirim tim lagi berangkat ke Mekah. Kali ini tim yang terdiri Lebe Panji, Tisnajaya dan Wangsaraja, selain berhaji, juga bertujuan mencari legitimasi (dukungan) dari Sultan Mekah.
Bersama dengan tim Banten itu juga berangkat tim dari Mataram (Islam) dengan maksud yang sama, ibadah haji sambil mencari dukungan sultan Mekkah.
Bentuk dukungan yang dibawa kedua tim itu berupa pemberian gelar (nama).
Sultan Banten diberi gelar Sultan Abdul Muafakir Muhammad Abdul Qadir, sementara raja Mataram diberi gelar, Sultan Abdul Muhammad Maulana Yusuf. Peristiwa itu terjadi sekira tahun 1630.
Tahun 1644 disebutkan, Syech Yusuf dari Makasar juga berangkat ke tanah suci. Beliau mukim di sana cukup lama, yaitu 26 tahun. Di sana beliau menimba ilmu kepada ulama besar antara lain kepada ahli tasawuf Syech Ibrahim Kurani di Medinah.
Pulang dari sana 1670 dengan sertifikat guru tasauf, beliau juga terjun ke dunia politik menentang penjajahan Belanda yang sudah masuk Indonesia. Beliau aktif sebagai penasihat sultan Ageng Tirtayasa dari Banten.
Tapi dengan berbagai tipu daya dan jebakan tentara Belanda, Syech Yusuf berhasil ditangkap dan dibuang ke Selon (Srilanka)
Tokoh lain yang sempat menunaikan ibadah itu adalah, Abdul Ra’uf Singkel dari Aceh. Sebagai ulama dengan ilmu yang tinggi tentang Islam, beliau mendapat tempat terhormat pada masyarakat serambi Mekkah itu.
Ia dikenal sebagai pembawa dan penyebar ilmu tarekat Syatariyyah di Nusantara.
Itulah antara lain tokoh tokoh Islam yang sempat menunaikan ibadah haji.
Jika diambil dari momen Bratalegawa (1357) sudah sangat lama ibadah haji itu dilaksanakan kaum muslimin. Jauh sebelum penjajah masuk ke nusantara ini.
Dan semangat menunaikan rukun Islam ke lima itu tidak pernah surut sampai sekarang. Sekarang ini lebih dari 5 juta orang peminat yang sudah mendaftar. Tapi mereka terjebak pada waiting list atau daftar tunggu yang tak menentu.- ***