Oleh : Dedi Asikin (Wartawan Senior, Pengamat dan Aktivis Sosial)

INILAH cerita tentang bagaimana berat dan banyaknya risiko melaksanakan ibadah haji tempo doeloe.

Tempo ketika sarana angkutan belum tersedia seperti sekarang dengan pesawat terbang. Masa ketika tidak ada jaminan keamanan. Ketika itu Indonesia belum lahir dan para jamaah mengurus diri masing-masing.

Riwayat ibadah rukun Islam ke lima itu  sudah amat panjang.

Kalau kita mempercayai hasil penelusuran sejarawan Dadan Wildan Anas, Bratalegawa adalah orang pertama kita yang pergi haji (1357). Itu berarti sudah berlangsung sejak lebih dari 6 abad.

Waktu itu sarana angkutan yang ada hanyalah perahu dan kapal layar.

Diceritakan Syech Yusuf al Makasari berangkat dari Makasar dengan menggunakan perahu layar. Mula mula mampir di Banten. Terus berangkat lagi menuju pulau Rumbia di Aceh.

Semua calon haji memang harus  berkumpul dulu di Aceh. Itu sebabnya Aceh dijuluki sebagai serambi Mekkah.

Ketika ada kapal dagang yang berangkat menuju Guzarat di India, mereka menumpang. Yang namanya kapal dagang, tentu tidak dilengkapi dengan kamar tidur.  Mereka bergeletakan di dek kapal, seperti ikan sarden di dalam kaleng.

Resiko pertama dibantai gelombang dan badai.  Berikutnya  masuk angin dan sakit. Bencana lain adalah gangguan perompak. Selamat nyawa sudah beruntung, tapi perbekalan dirampas hampir pasti.  Karena itu yang sakit dan habis bekal biasanya mereka turun di Singapur atau Malaysia. Banyak yang kemudian terus tinggal bahkan menjadi warga negara di sana.

Dari Guzarat mereka ganti kapal lagi.  Juga kapal dagang yang menuju Jedah atau Yaman.

Sebelum sampai di tanah Arab itu, mereka diturunkan di Kamerun untuk dikarantina selama 7 hari. Di sana diperiksa kesehatan dan disterilisasi.

Kamerun itu sebuah pulau kecil berukuran 40 km2. Dulu merupakan jajahan Inggris, sekarang sudah jadi republik yang merdeka.

Bupati Bandung RAA Wiranatakusuma yang berangkat haji tahun 1924 dan mengalami karantina Kamerun itu,  menggambarkan tempat itu selain gersang, juga kotor dan jorok.

Sialnya lagi mereka juga dipungut biaya.

Pemerintah Inggris tiap tahun menerima dari hasil pungutan itu sekitar $250 ribu.

Selesai dikarantina, para jamaah diberangkatkan menuju Jedah dengan perahu yang dusebut sumbuk.

Jarak Kamerun sampai Jedah sekitar 4 mil (6 km).

Dari Jedah mereka berpencar. Ada yang naik kuda atau unta. Tapi tak jarang yang jalan kaki. Risiko diperjalanan, terutama yang jalan kaki adalah dicegat orang orang Badewi yang turun  dari pegunungan. Mereka selain merampok bawaan, juga bisa menawan jemaah untuk dijual sebagai budak belian.

Mereka yang selamat dan bisa pulang (kecuali yang mukim) kembali dengan menggunakan kapal dagang, dari Jeddah atau Yaman menuju Guzarat dan seterusnya menuju  Jakarta.  Sebelum sampai di Tanjung Priuk, mereka juga harus menjalami karantina di pulau Onrust,  kepulauan Seribu.

Setelah selesai baru diberangkatkan menuju Tanjung Priuk.  Setelah itu mereka bubar kembali ke kampung halaman masing-masing.

Berapa banyak jemaah yang bisa pulang kembali ke tanah air ? Tidak ada catatan pasti.  Tapi ketika pemerintah kolonial Belanja melakukan monitoring, pada tahun 1857, dilaporkan jemaah yang kembali hanya sekitar 50%. Sisanya kemungkinan ada yang turun di perjalanan, meninggal di kapal, ditahan Badewi dan dijual sebagai budak belian atau mukim di Makkah atau Madinah.

Wallahu alam.

Sesungguhnya pemerintah kolonial baik Inggris terutama Belanda, sangat tidak suka kegiatan ibadah haji warga pribumi (inlander). Masalahnya para intel melaporkan banyak jemaah yang pulang beribadah menjadi extreme. Mereka terlibat dalam gerakan perlawanan dan berjuang untuk kemerdekaan.

Cara mencegahnya dilakukan berbagai peraturan. Tahun 1825 di keluarkan ordonansi No. 35 yang isinya antara lain jemaah harus memiliki Pas haji.  Untuk itu mereka harus membayar 110 gulden.  Uang sebesar itu setara harga sebuah rumah  (sederhana).

Lalu tahun 1859 dikeluarkan lagi statblaad voor Nederlandsch Indie No.42 . Isinya  ketika pulang, harus mengikuti uji kelayakan. Yang melakukan pengujian bisanya bupati dan kiyai yang ditunjuk.

Jika tidak lulus mereka tidak diperkenankan menggunakan gelar haji dan memakai atribut kehajian. Jika melanggar bisa didenda antara 25 sampai 100 gulden.

Pangeran Diponegoro yang mengajukan izin berhaji pada tahun 1830 ditolak.

Perang Diponegoro itu merupakan perang yang paling banyak menelan korban dan anggaran. Ada 8 ribu tentara Belanda dan 7 ribu tentara pribumi yang tewas. Selain itu Belanda juga menghabiskan biaya lebih dari 20 juta gulden.- ***

Sumber:

Editor: Eka Purwanto

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Exit mobile version