Oleh : Dedi Asikin (Wartawan Senior, Pengamat dan Aktivis Sosial)

DALAM pertemuan silaturahmi keluarga besar HA Asikin kamis 23 Mei lalu, saya berjumpa keponakan, Tedi Ernawan SH.

Dia itu tinggal dan menjadi kuncen lembur. Sudah beberapa tahun memegang jabatan sebagai ketua DKM Masjid Nurul Iman yang  berada sekitar 50 meter dari rumahnya.

Ayah saya dulu didaulat masyarakat menjadi ketua DKM itu seumur hidup.

Jadi dia, Tedi, meneruskan jejak kakeknya. Alhamdulillah.

Dia juga aktif dalam Presidium Pembentukan kabupaten Tasik Selatan yang kini sedang menunggu keputusan pemerintah pusat.

Dia baru saja membaca tulisan saya 21 Mei berjudul “Padawaras lagi tidak waras”

Dia bilang ketidak warasan Padawaras itu,  bukan hanya saluran irigasi jebol dan tertimbun longsor, tetapi juga terjadi pendangkalan di sana sini.

Salah satunya pada aliran sungai Cikeruh. Sungai itu membuat petaka bagi penduduk sepanjang bantaran sungai. Setiap turun hujan, kampung Cikeruh pasti banjir. Selain itu banjir juga merendam jalan sepanjang 500 meter. Semua jenis kendaraan tak bisa melintasinya. Harus menunggu berjam jam sampai air surut.

Selain membuat penat, tentu saja berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi setempat.

Misalnya karena transaksi perdagangan mengalami kelambatan, pemborosan bahan bakar dan lain-lain.

“Seharusnya di sana dibuat jembatan seperti yang dibuat di Menol,” cerocos Tedi.

Saya sendiri sejak lama merasa aneh.

Setahu saya dalam perencanaan (sekitar tahun 1974) memang di titik itu akan dibuatkan jembatan untuk mengatasi  limpahan air menggenangi jalan.

Ternyata rencana itu tidak dilaksanakan.

Bingung juga jadinya. Kenapa gerangan ?

Jika masyarakat tahu hal itu, tentu ada kecewa di balik derita. Buruk sangka juga bukan mustahil.

Dalam hati mereka mungkin terbetik seperti  ungkapan dalam bahasa sunda “ngeduk cikur teu mitutur, nyokel jahe teu micarek”. Ada rahasia yang disembunyikan.

Bahasa vulgarnya manipulasi dan korupsi.

Wallahu alam. Itu persoalan berpuluh tahun lalu.

Yang pasti seperti dikatakan Tedi, Padawaras harus dibikin waras.

Tak hanya sekedar rehabilitasi saluran yang jebol dan tertimbun longsor. Juga pengerukan titik titik pendangkalan.  Selain itu jembatan juga harus dibangun.

Jangan sampai petani gagal panen terus lantaran sawahnya kekeringan. Seperti dikabarkan 600 hektar sawah di kecamatan Cipatujah tahun 2023 gagal panen. Masa gagal maning , gagal maning.

Beberapa waktu yang lalu saya pernah menyarankan kepada teman-teman di Presedium Tasela agar mulai memikirkan pengembangan pembangunan (ekonomi)  Tasik Selatan.

Itu dimaksudkan agar jika DOB (Daerah Otonomi Baru) turun, perkembangan ekonomi masyarakat sudah bisa take off.

Jangan lupa UU 23 tahun 2014 sebagai perubahan dari UU 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, mengatur adanya daerah otonom persiapan.

Masa persiapan itu diatur 3 tahun untuk daerah yang pembentukannya berdasarkan usulan dan 5 tahun bagi daerah  yang ditetapkan berdasarkan Strategi Nasional.

Kalau tidak berkembang dalam kurun waktu tersebut. maka DOB persiapan itu akan dibatalkan dan dikembalikan ke kabupaten atau provinsi induk.

Kalau itu terjadi, tentu sebuah kerugian moril material. Itu rugi bandar namanya.

Saya menyampaikan saran agar Presidium (Tasela) mengawali langkah awal dengan menginventarisir potensi dan masalah. Seperti kasus Padawaras misalnya. Kemudian menghimpun sumber  daya dan merancang solusi.

Sekarang karena Padawaras sudah terbukti lagi tidak waras, kasus itu bisa dijadikan entry point. Pintu masuk pengembangan (ekonomi) Tasela.

Padawaras harus dibikin waras.

Bangunlah hei budah-budah laut.- ***

Sumber:

Editor: Eka Purwanto

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Exit mobile version