Oleh : Dedi Asikin (Wartawan Senior, Pengamat dan Aktivis Sosial)
JAGAT jurnalistik sedang terusik. Sejumlah organisasi wartawan kecewa, bahkan mulai nepsong.
Tak hanya di Jakarta, berontak juga sudah merasuk ke beberapa daerah. Setelah di Jambi, kemarin sejumlah organisasi wartawan di Bandung, ada Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Pewarta Photo Indonesia, Wartawan Poto Bandung, Forum Diskusi Wartawan Bandung dan Pers Mahasiswa menggeruduk gedung DPRD Jawa Barat di jalan Diponegoro.
Mereka menolak revisi UU penyiaran.
Ada dua hal yang menyebabkan penolakan itu. Pertama tidak dilakukan sosialisasi terlebih dulu.
UU No. 12 tahun 2011 tentang tata cara pembuatan peraturan perundangan undangan mengharuskan RUU itu disosialisasikan terlebih dulu. Maksudnya, selain mengetahui, publik juga berhak menyampaikan saran dan pendapat.
Dalam RUU revisi UU penyiaran itu, sama sekali tidak dilakukan. Jangankan masyarakat luas, sekedar Dewan Pers saja tidak.
Selain itu yang prinsipil dalam RUU itu, ada pasal yang berbau menghapus kemerdekaan Pers.
Dalam pasal 15 RUU itu, ada larangan penyiaran berita atau tulisan hasil investigasi.
Lo lo lo , kok bisa.
Investigasi itu jantungnya jurnalistik.
Semua wartawan tahu bahwa tanpa investigasi, tidak bisa diharapkan sebuah berita atau tulisan, memenuhi tiga unsur, yaitu “dalam” (dept reporting), lengkap (jurnalisme komprehensif ) dan berimbang (both cover side).
Pasal 15 RUU itu juga bertentangan dengan UU Pers (No.40 th 1999). Pasal 4 ayat 2 UU Pers itu berbunyi, kepada Pers Indonesia tidak dikenakan sensor, bredel dan larangan penyiaran.
Jadi intinya menurut analisa para pekerja jurnalistik, revisi UU penyiaran itu merupakan upaya menghapus kemerdekaan Pers yang sudah diatur oleh UU sebelumnya (UU 40/1999).
Jika dibiarkan UU itu bisa membangun pemerintahan yang ototriter atau diktatorian yang menjadi musuh utama reformasi.
Sesungguhnya, banyak wartawan yang melihat gelagat, bahwa kebebasan Pers yang selama ini diatur dalam UU, merupakan kemerdekaan semu. Lempar batu sembunyi tangan.
Biar mendapat apresiasi terutama dari negara luar, bahwa Indonesia sudah menegakan kemerdekaan Pers. Dalam kenyataanya banyak pejabat/penyelenggara negara yang alergi terhadap wartawan. Banyak mereka bermain petak umpet, selalu menghindari awak media jika mendatanginya.
Padahal sesungguhnya atas nama negara, mereka harus memerlukan media sebagai agen informasi. Mereka tidak mungkin menyampaikan informasi kepada publik lewat toa di menara masjid. Dalam sebuah negara yang menganut azas keterbukaan, setiap langkah yang dilakukan penyelenggara negara harus diinformasikan kepada masyarakat.
Maka itu dibuatlah UU Keterbukaan Informasi Publik (No. 14 tahun 2008).
Di lain pihak, wartawan sebagai penjaja informasi, memandang pejabat/penyelenggara negara sebagai nara sumber utama.
Jadi diantara keduanya saling memerlukan. Seharusnya terjalin sinegritas, kebersamaan dan kemitraan.
Jadi, aturan atau kebijakan yang bisa mengurangi kebebasan kerja wartawan tidak diutak atik lagi.
Intinya agar rencana revisi UU penyiaran itu dibatalkan.
Itulah makanya, para awak media sampai mau turun ke jalan berteriak dan berterik terik di panas matahari.
Apalagi demo organisasi Pers di Bandung sampai menggelar treaterikal segala.
Amit-amit jabang tutuka.- ***