Oleh : Dedi Asikin (Wartawan Senior, Pengamat dan Aktivis Sosial)
TAK salah jika orang Indonesia ini dijuluki bangsa kreatif. Setidaknya dalam urusan membuat prasa bernada sindir sampir, bullying atau ngenye orang.
Dulu Mahkamah Konstitusi dijuluki Mahkamah Keranjang Sampah, Mahkamah Kalkulator dan bersama putusan No.90/PUU-XXI/23 muncul bullying, Mahkamah Keluarga.
Kemarin muncul prasa baru Mahkamah Adinda. Prasa itu muncul pasca Mahkamah Agung mengabulkan yudisial riview batas usia calon gubernur 30 dan bup/wal, 25 tahun, pada saat pendaftaran dirubah MA menjadi (30 dan 25, saat pelantikan).
Waduh itu Mahkamah Agung, kumaha eta lalawora, ngabodor gak lucu.
Masa merubah UU cuma segitu doang.
Putusan MA itu tentu kontroversial. Sesegera mungkin marak tanggapan. Ada yang beraroma suudzon bin buruk sangka.
Tapi buruk sangka kaya begitu mah gak salah. Gak ada dosa, kayanya. Malah bisa bisa masuk sunnah muakad. Sunnah yang dianjurjan. Hehehe.
Beberapa teman saya di grup diskusi Ngadu Bako menuduh (suudzon ? ) itu mah putusan by design. Memenuhi pesanan. Maju tak gentar membela yang maha kuasa. Sekaligus yang bayar.
Bagaimana orang tidak curigesen atuh.
Ini ada catatan Boys Iskandar. Kaesang Pangarep lahir 25 Desember 1994. Jadi kalau pakai aturan lama, (30 tahun), waktu pendaftaran (Agustus ) usia si bontot itu baru 29 tahun dan 7 bulan. Kurang 5 bulan. Tapi jika dirubah seperi putusan MA kemarin, menjadi saat pelantikan, usia Kaesang sudah memenuhi syarat. Menurut perhitungan KPU pelantikan kepala daerah hasil pilkada 2024, bulan Januari 2025. Jadi si bungsu sudah pas 30 tahun.
Pinpin bo jadinya tu MA. Pintar pintar bego. Bayangin, proses judicial review UU itu hanya berlangsung 3 hari pasca diajukan Ketua Umum partai Garuda Ahmad Ridha Sabanna. Lagian menurut beberapa pakar hukum Tata Negara UU itu merupakan legal standing DPR dan Pemerintah. Jadi perubahan tak harus ke MA. Itu mah bisa di Senayan.
Tapi mereka cukup jeli. Soalnya jika dirubah DPR akan memakan waktu.
Adu argumen dicampur sentimen 560 anggota yang terhormat, keburu habis jadwal (pendaftaran).
Maka dibawalah ke MA. Eh ndilallah MA langsung tancap gas. Maju tak gentar membela yang bayar, hehehe.
Dan apaboleh buat, merebaklah isu slepetan. Kepanjangan MA menjadi Mahkamah Adinda dan MK jadi Mahkamah Kakanda.
Ngaku atau tidak, logika itu kena.
Jika ini benar, maka tampaklah amuk amuknya Joko Widodo. Slepet kiri senggol kanan.
Tapi kata Sultan Sahid, Jokowi itu sesungguhnya cuma orang tua yang baik. Yang care kepada anak mantu. Semua dicarikan pekerjaan. Tak peduli diteriakin orang.
Si sulung jadi wapres, si bungsu dan mantu, gubernur dulu lah gpp. oke oce.
Dengar dengar si bungsu Kaesang akan diproyeksikan menjadi calon wakil Gubenur Jakarta. Dia bakal dipasang dengan Budi Satrio Djiwandono, keponakan Prabowo Subianto (putera Sudrajat Djiwandono, gubernur BI era Suharto).
Jadi Prabowo Joko Widodo itu sudah demikian lengketnya kaya perangko. Mereka akan besanan politik ternyata.
Tapi semua itu, semua akrobat politik Jokowi, malah membuat negeri ini jadi makin antah berantah.
Demokrasi kebulak balik. Rakyat tak kuasa apa apa.
Cuma jadi penonton yang pasrah.
Azas Trias Politica seperti digagas Socrates alias Plato 350 tahun sebelum masehi, tidak berwujud lagi.
Kekuasaan tidak berada di masing-masing pilar, (eksekutif, legislatif dan yudikatif ).
Sekarang ini yang “maha kuasa ” adalah kepala eksekutif (presiden).
Parlemen dan lembaga peradilan pada manut kepada kepala eksekutif (presiden).
Kaya kerbau dicocok hidung. Juga rakyat yang katanya punya kedaulatan. Cuma bisa duduk pasrah.
Dan indikasi semua itu, relevan dengan adagium Mahkamah Kakanda dan Mahkamah Adinda.
Weleh weleh.- ***