Oleh : Dedi Asikin (Wartawan Senior, Pengamat dan Aktivis Sosial)
GEGER tak pernah sunyi di negeri ini. Adu mulut soal pemilu belum juga reda, muncul masalah baru. Masalah yang langsung menonjok perut sebagian warga negara. Mereka, pekerja swasta dan pegawai negeri.
Tak lain dan tak bukan adalah pemungutan lewat potong paksa, upah atau gaji mereka.
Badan Tabungan Perumahan Rakyat (BP TAPERA) sudah dibekali senjata untuk memaksa yaitu PP 21 tahun 2024 yang sudah dito Joko Widodo.
Presiden RI ke enam itu sudah benar-benar berubah menjadi otoritter.
Suara rakyat, alasan apapun, tak didengar lagi.
Dan BP TAPERA tiada ampun, kaya jagal memotong leher sapi saja.
Matilah kau. Emang gua pikirin ?
Padahal semua keberatan dari para pekerja maupun PNS sangat beralasan. Yang gak paham hanya orang dungu saja, kata Rocky ketika menggerung.
Alasan para penolak itu, pertama, ekonomi rakyat (i.c. pekerja dan ASN) sedang terpuruk.
Kedua itung-itungannya gak nyampe dan gak jelas.
Kalau rata-rata income mereka Rp.3.000.000- sebulan, artinya jika dipotong
3 % (2,5% ditanggung pekerja dan 0,5% dibayar perusahaaan) maka BP Tapera menerima Rp.90.000,- dari seorang penerima upah/gaji sebulan. Atau setahun Rp.1.080.000,-.
Jika mereka bekerja 30 tahun maka tabungan yang terkumpul sampai masa pensiun, hanya Rp.32.000.000,-
Buat apa ? Harga rumah sekarang saja sudah mencapai Rp. 400 sampai Rp500 juta. Mungkin tabungan mereka hanya cukup buat uang muka saja.
Yang ketiga, sesungguhnya secara umum, rakyat sudah tidak percaya kepada pemerintah. Mereka trauma dengan lenyapnya uang di Jiwasraya Rp17 trilyun dan Asabri Rp23 trilun.
Terus KPK sekarang, sedang menyidik Taspen, dalam dugaan korupsi investasi fiktif.
Yang berikutnya lagi BP Tapera belum menyerahkan tabungan Pegawai Negeri terdahulu yang dipungut Bapertarum.
Menurut Bapertarum tahun 2021, sebelum tutup warung, sudah mentransfer dana sekitar Rp.11,5 ke BP Tapera yang dibentuk presiden Jokowi. Dana itu milik para penabung (ASN) yang seharusnya diserahkan kepada mereka.
Hal itu dibenarkan oleh politisi PDIP Rieke Diah Pitaloka di podcast Akbar Faizal Uncensored.
Rieke berharap Tapera mempertanggungjawabkan dulu dana limpahan dari Bapertarum itu. Selanjutnya diinventarisasi dulu, siapa yang sudah punya rumah atau sedang mencicil. Atau ada juga PNS yang mengaku punya rumah warisan di kampung dan akan pulkam pasca pensiun.
Jadi jangan digebyah uyah (sama rata ) begitu.
Bahkan kebanyakan, malah meminta PP 21 2024 yang baru diteken Jokowi itu dibatalkan.
Gak ada manfaat bagi pekerja, kata M. Iqbal ketum FPSI. Selain itu, keberlanjutan status kekaryawanannya (terutama pekerja swasta, tidak terjamin. Bisa saja besok lusa kena PHK, tambah Muhammad Iqbal ketua umum SPSI dan ketua Partai Buruh yang malang tak melenggang ke Senayan.
Iqbal sudah kelewat geram sama Jokowi nampaknya. Dia juga menuduh pemerintah tidak mengindahkan keputusan Mahkamah Konstitusi soal UU Onmibus atau cipta kerja. MK memerintahkan UU itu direvisi dulu sebelum dilaksanakan. Jokowi main labrak saja, pungkas Iqbal.- ***