Oleh : Dedi Asikin (Wartawan Senior, Pengamat dan Aktivis Sosial)
INI cerita jadul, zaman dulu. Zaman ketika menunaikan ibadah haji berbulan bulan. Bahkan kata Snouck Hurgronje bisa makan waktu 2 tahun. Bahkan ada juga yang tak bisa pulang kembali ke kampung halaman.
Zaman ketika belum ada angkutan haji. Mereka berangkat dengan menumpang kapal dagang, bergeletakan seperti ikan pindang di atas dek kapal.
Tetapi ternyata ada jiwa kebangsaan yang terbangun. Ada semangat kemerdekaan yang semakin menyala.
Begini proses sejarahnya.
Waktu itu di beberapa belahan nusantara sudah mulai tumbuh cita-cita untuk lepas dari belenggu penjajahan. Penduduk wilayah nusantara beratus tahun merasa ada kekuasaan yang membelenggu. Yang terasa melakukan kekasaran pemaksaan. Mereka juga mengambil hasil kekayaan tanah Nusantara dan membawanya pulang ke negrinya. Ada yang namanya Portugis, Inggris dan yang paling lama mencengkeram adalah kolonial Belanda.
Mulai akhir abad ke 19 sampai awal abad 20, gerakan melepas belenggu itu mulai menggeliat. Tetapi masih sporadis. Orang Maluku, Sulawesi, Kalimantan, Jawa dan Sumatera-masing masing bergerak sendiri sendiri.
Di Jawa ada perang Diponegoro, pemberontakan petani Banten melawan tanam paksa. Di Sumatera ada perang Padri dan perang Aceh serta di beberapa tempat dan pulau lainnya.
Diantara para jemaah haji itu ada yang membawa jiwa dan semangat kemerdekaan. Kebetulan ada sistim yang tercipta karena kondisi. Mereka itu dari daerah-daerah berangkat dengan menggunakan perahu layar menuju Aceh. Dari sana mereka mulai berkumpul dan bertemu. Itulah sebabnya Aceh dijuluki sebagai serambi Mekkah.
Pembicara sesama muslim itu mulai menyentuh subtansi perjuangan memerdekakan diri dan membentuk sebuah negara di wilayah yang dikuasai penjajah (Belanda) waktu itu.
Pembicaraan terjadi juga dalam perjalanan dan bahkan ketika sampai di bumi Allah, Mekkah al Mukarramah.
Bahkan setelah selesai ibadah banyak diantara mereka yang tinggal dulu (mukim) di sana.
Mereka belajar (mendalami) ilmu Islam kepada ulama-ulama ternama di sana.
Bahkan ada juga guru-guru yang berasal dari Nusantara yang tinggal di sana. Antara lain ada Nawawi Banten, Ahmad Khatib Minangkabau dan Mahfud Termas.
Tahun 1934, para kiyai Nusantara itu mendirikan madrasah yang diberi nama Darul Ulum di Mekkah.
Di sana mereka membicarakan secara lebih intens dan berjanji untuk mensatu padukan perjuangan setelah pulang ke tanah air.
Secara kebetulan disana juga ada madrasah Shaulatiyyah yang didirikan oleh orang India. Kebetulannya, India juga sedang berjuang memerdekakan diri dari kolonial Inggris.
Jadi ada kesamaan jiwa dan semangat kemerdekaan diantara kedua bangsa.
Ada fungsi ganda dari banyak haji Indonesia waktu itu.
Selain menunaikan ibadah rukun Islam ke lima, mereka juga menempa semangat kemerdekaan tanah Nusantara.
Dan dalam kenyataan sejarah memang demikian. Banyak haji yang kemudian mendirikan pesantren dan menjadikan basis perjuangan.
Di pertengahan abad ke 20 ada KH Hasyim Asy’ari dari Jombang, KH Zaenal Mustofa dari Singaparna Tasikmalaya. Ada KH Amien Sepuh dari Babakan Ciwaringin Cirebon. KH Jamil Abbas dari Buntet. Lalu KH Ahmad Syafi’i dari Rembang, dan lain-lain.
Upaya pemerintah kolonial Belanda mencegah keberangkatan jamaah haji Hindia Belanda tidak berhasil dengan baik. Ada beberapa reglemen dan statblaad (peraturan) yang dikeluarkan pemerintah. Misalnya keharuan memperoleh izin dengan menetapkan biaya 110 gulden. Kemudian harus mengikuti uji kelayakan setelah pulang. Tapi semua itu tak menjadikan kegiatan ibadah haji penduduk pribumi itu berkurang.
Bukti peran perjuangan para kiyai yang diantaranya sudah berhaji bisa dilihat dari peran mereka pada perang besar di Surabaya antara bulan Oktober sampai Nopember 1945.
KH Askha’ri bersama sejumlah kiyai lain mengeluarkan “resolusi jihad”, yang memfatwakan wajib berperang melawan penjajah.
Fatwa itulah yang memicu tumpah ruahnya laskar santri dari berbagai pelosok pulau Jawa, ikut berperang melawan tentara sekutu. Selain berhasil membunuh panglima perang sekutu (Brigjen AJ Malaby ) tentara dan laskar santri juga memenangkan perang .
Momen puncak peperangan (10 November 1945) itu dijadikan sebagai Hari Pahlawan Nasional. Kemudian tanggal 22 Oktober dijadikan sebagai Hari Santri Nasional.
Rangkaian cerita ini ada dalam buku saya berjudul “Menyusur pintu Mabrur” (2019).- ***