Oleh : Dedi Asikin (Wartawan Senior, Pengamat dan Aktivis Sosial)
SEMUA orang, terutama pemeluk agama Islam, mengakui ibadah haji itu merupakan perintah ibadah yang paling berat dan sulit. Segala aspek harus dipenuhi. Tak cukup cuma punya bekal yang makin lama makin mahal. Fisik dan mental juga harus siap.
Dahulu, zaman ketika tangan negara belum hadir, ketika sarana angkutan belum tersedia, ketika keamanan belum terjaga, kasihan sekali para calhaj. Ada yang tak bisa sampai, karena sakit atau bekal habis dirampas perompak di tengah laut.
Meskipun bisa sampai, nafas sudah hampir lepas di tenggorokan.
BACA JUGA: Update 10 Akun FF Sultan Hari Ini 15 Juni 2024, Ada SG2 Rapper, OPM, dan Bundle Cobra
Yang bisa kembali, alhamdulillah. Dia orang tangguh dan beruntung. Tapi termasuk jarang jumlahnya. Tahun 1857, pemerintah kolonial Belanda mencoba membuat catatan tentang orang pribumi yang pergi pulang naik haji. Katanya yang kembali ke tanah air, kurang dari separuhnya. Inalillahi.
Pokoknya dulu, haji itu termasuk barang langka. Maka martabatnya juga termasuk kasta atas. Dihormati dan disegani. Bahkan ada beberapa yang dianggap sakti.
Akan halnya dengan haji yang sekarang.
Perkara sarana angkutan tak masalah. Sudah ada pesawat yang bisa membawa jemaah hanya dalam waktu 9 atau 10 jam saja. Pagi take off, sore hari sudah mendarat di Jeddah atau Madinah.
Tapi kesulitannya adalah menunggu kesempatan. Sejak tahun dua ribuan, daftar tunggu terus menumpuk.
Sekarang ini sudah mencapai belasan, bahkan puluhan tahun. Di Polewali Sulawesi bahkan daftar tunggunya sudah mencapai 40 tahun.
Jika waktu lahir didaftarkan, maka kira-kira usia 40 tahun baru bisa berangkat. Itupun bukan hal pasti. Risiko lain banyaknya haji lansia yang butuh pelayanan khusus. Katanya sekarang sudah ada 5,2 juta yang daftar dengan setoran awal Rp25 juta.