Tapi keinginan naik haji tak bisa dibendung. Dan nekad itu yang kemudian dia lakukan.
Suatu pagi di bulan Mei 1992 dia pamit kepada keluarga yang dipaksanya cuma bisa melongo. Dia naik bis antar kota. Dari terminal Bungurasih dia naik bemo ke bandara Juanda.
Bekal yang ada di saku hanya Rp54.500. Ceritanya dia sempat dapat undian sampo 5 gram emas. Lalu dijual laku Rp76.000.
Rp26.500 dibelikan pakaian ihrom dan tas haji. Rp5.000 sangon (bekal) dari emak.
Masih tengah hari waktu sampai di bandara. Dia tanya sana sini soal pesawat haji. Diperoleh keterangan, jemaah haji akan berangkat jam 19.00 dengan pesawat Garuda.
Sambil menunggu waktu Choirun masuk mushola. Di sana dia terus berdoa memohon diselamatkan dan bisa nunut (nebeng) pesawat sampai tujuan.
Rupanya sebagian permohonannya terkabul. Dia bisa melewati pemeriksaan ketika menyelinap di barisan sekira 450 CJH dan bisa masuk ke dalam pesawat. Dia berusaha tenang agar tidak dicurigai orang.
Kebetulan di belakang ada 4 kursi kosong yang tidak diberi nomor duduk. Kursi itu biasa ditempati pramugari jika sudah selesai tugas.
Nah di situlah datangnya malapetaka. Seorang pramugari yang hendak istirahat menanyai Choirun.
Ketika ditanya paspor dan dokumen kehajian, dia cuma clingak clinguk. Memang gak punya, bahkan tak ngerti apa-apa tentang urusan itu.