Oleh : Dedi Asikin (Wartawan Senior, Pengamat dan Aktivis Sosial)
IBADAH haji itu impian banyak orang (Islam). Sejatinya ibadah itu bukan monopoli orang berduit doang.
Buktinya jika sudah takdir dan panggilan sudah datang, banyak orang berkekurangan bisa melaksanakan ibadah paling berat itu.
Ada haji kosasih, ongkos dikasih, haji nurdin, nurut dinas. Ada juga yang benar-benar mandiri, hasil menabung berpuluh-puluh tahun. Ada pedagang martabak, tukang sol sepatu, penarik beca, supir angkot, mbok jamu dan lain-lain.
Tapi ada juga yang nekad nerobos masuk pesawat haji, meski hanya sampe Jeddah dan dipulangkan lagi dari sana. Itu kejadian sudah lama (1992).
Adalah Choirun Nasihin (31 tahun) penducik dusun Ngrumek desa Ngeyeye Kecamatan Sumobito Kabupaten Jombang sudah lama bercita cita ingin naik haji.
Memang keluarga itu termasuk taat agama. Di depan rumahnya berdiri sebuah mushola.
Ada kebiasaan nyeleneh pria yang masih bujangan itu. Choirun selalu mengenakan topi haji berwarna putih.
Ke manapun dia pergi, ke sawah atau mengantar mboke ke pasar, itu topi haji selalu menclot di kepalanya. Kecuali tidur baru dilepas. Karena itu dia biasa dipanggil orang orang wak haji.
Dan kondisi itu yang melecut keinginannya menunaikan ibadah haji. Namun apa daya, uang tiada. ONH waktu itu yang Rp6 juta tak punya.
Mereka itu keluarga sederhana. Hampir hampir termasuk bilangan kismin. Bapaknya, Zaenuddin, hanya seorang buruh tani. Ibunya Siti Qofsah usaha warung kecil-kecilan cuma sebangsa es dan kerupuk.