Oleh : Dedi Asikin (Wartawan Senior, Pengamat dan Aktivis Sosial)
ADA banyak tanggapan atas tulisan saya kemarin “Burungmu harimaumu”.
Nyaris semua terkaget kaget. Kok “tojaiyah” (berbeda, berlawanan) antara yang diucapkan dengan yang dilakukan. Lain di mulut lain di hati. Pagi dele sore tempe.
Waktu Idul Adha, dia menjadi khotib di lapangan Simpang Lima Semarang. Yang dibahas tentang perbandingan moral hewan dan manusia. Jika ada manusia yang moralnya seperti hewan, maka manusia itu (moralnya) yang harus disembelih.
Sejumlah mahasiswa Surabaya mengirim pesan “Lho tadi bingi jadi khatib di depan presiden, saiki dipecat. Piye iki”.
Ada yang bilang, ketika menyelenggarakan pemilu melakukan maksiat, jangan-jangan pemerintah yang dihasilkan (legislatif dan eksekutif) tidak barokah.
Tapi ada yang bilang, semua telah lewat. Yang penting mengawal pemerintah ke depan supaya bekerja dengan baik.
Warna warni kicauan mereka, saya maknai sebagai wujud demokrasi. Monggo monggo wae. Beda pendapat itu kita hadapi dengan toleransi. Beda pendapatan ada subsidi silang. Yang berlebih memberi yang kurang. Infaq shodaqoh, bukankah itu ibadah yang paling disenangi Allah ?
Yang saya bayangkan justru, bagaimana molohoknya ibu negara Iriana mendengar putusan DKPP memecat HA itu. Beliau dengan pak Jokowi serta Menpupr Basuki Hadimulyono memang sholat Idul Adha di Semarang.
Waktu itu HA menjadi khotib dan membahas soal perbandingan moral hewan dengan manusia.
Lalu ada yang penasaran dan bertanya siapa sebenarnya Hasyim Asyari yang ketua KPU itu ?
Yang pasti dia bukan KH Hasyim Askha’ri pendiri Nahdatul Ulama dan pencetus fatwa resolusi jihad 22 Oktober 1945.
Yang itu mah kiyai dan ulama tulen. Bergelar Hadratusyaikh (maha guru yang hafal isi 6 kitab hadits). Juga berjuluk Syeikh al Masyayikh (gurunya para guru).
Hasyim Asyari sing iki yang dicopot sebagai ketua KPU, sanes deui. Memang pernah nyantri di potren Al Hidayah Karangsuci Purwokerto sembari kuliah di fak hukum Universitas Jendral Sudirman. Namanya memang sama, Hasyim Asyari. Tapi dia mah latar belakangnya dosen. Mengajar ilmu hukum Tata Negara di fakultas Hukum Undip Semarang.
Dia lahir tanggal 3 Maret 1973 di Pati Jawa Tengah. S1 diperoleh dari Universitas Jendral Sudirman dan S2 dari Universitas Gajah Mada. Sedang S3nya dari University of Malaya Kuala Lumpur. Jadi nama lengkapnya Dr H. Hasyim Asyari SH, MSi, Phd.
Istrinya juga doktor dan bekerja sebagai dosen tetap di Undip Semarang. Namanya Dr. Siti Mutmainah SE, Msi , Ak.
Mereka dikarunia 3 orang anak. Dua orang sekolah di LN dan yang seorang lagi mondok (mesantren).
Tapi belakangan ada kabar, mereka sudah bercerai. Wallahualam, belum sempat dikonfirmasi.
Yang pasti HA sing iki, bukan kiyai. Tapi dia nahdliyin. Mungkin termasuk NU kental. Bahkan mungkin masuk NU struktural. Ia pernah menjabat ketua Gerakan Muda Ansor Jawa Tengah (2019-2014) dan Kepala Satkorwil Barisan Ansor Serbaguna (Banser) 2014-2018.
Tahun 2015 menjabat ketus KPUD Jawa Tengah. Tahun 2016 ditarik jadi komisioner KPU pusat. Dan tahun 2022 jadi ketua KPU.
Akibat pemecatan itu, selain kehilangan muka, harga diri dan martabat, dia juga kehilangan pendapatan. Gaji ketua KPU itu Rp43.110.000 per bulan. Belum fasilitas lain, biaya perjalanan dinas, mobil dan rumah jabatan.
Memang kekayaan HA cukup fantastis. Menurut data LHKPN tahun 2023 harta kekayaannya mencapai Rp9.565.000.000,-Kekayaan itu hampir imbang antara hasil sendiri dan warisan.
Sesal dulu pendapatan, sesal kemudian copot jabatan. Apa boleh buntet, Hasyim juga manusia.
Antara khotbah Idul Adha dan perbuatan asusila lain cerita.
Tuhan memberi pahala atas perbuatan baik (makruf) dan memberi siksa atas perbuatan buruk (munkar). Tidak dibuntel kadut, punya bungkus masing masing. Jangan khawatir ! Ada timbangan yang maha adil.- ***